Tentang Jiwa yang Telah Pergi

Malam ini aku membayangkan seorang pria berusia senja itu terduduk lemah di kursi tamu rumahnya. Seorang diri ditemani bunyi cicak yang menempel di dinding rumahnya yang telah usang.  Mungkin ia sedang merenung, atau menatap dinding rumah dengan segala pemikirannya. 

Jika pun televisi menyala di ruangan itu, aku rasa pria itu tak punya selera menyaksikan tayangan di dalamnya. Duhai malam, mungkin pria itu tengah memeluk sepi, temannya dalam keseharian menjalani waktu yang terus bergulir. 

Malam ini aku membayangkan seorang pria berusia senja tengah diam tak bergidik. Matanya berkaca-kaca, ia sedang bernostalgia dengan kenangan lama. 

Ah waktu, sungguh benar sudah, kau berjalan tak kenal kata tunggu, terus saja berlalu tanpa peduli manusia menyindirmu karena terlalu cepat berjalan.



Pria itu baru saja kehilangan perempuan pelipur lara, orang yang sehari-hari menyiapkannya sarapan. Juga orang yang siap sedia menenangkannya kala pria itu mengalami mimpi tak mengenakkan. 

Beberapa pekan lalu, perempuan pelipur lara itu pergi ke pangkuan-Nya, meninggalkan yang fana menjelang tahun baru Islam berganti. 

Duhai waktu, tentu kau pasti tahu bukan? Dahulu sekali, 2o tahun yang lalu, seorang perempuan pelipur lara juga menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit. 

Ketika momen itu tiba, tak ada yang bisa mengelak dari garis takdir, begitu juga pria itu, ia dengan pasrah menerima ketetapan Ilahi. Pria itu kehilangan perempuan yang menjadi ibu dari kelima anak-anaknya yang tangguh. 

Perempuan yang berjanji hidup berdampingan dengannya itu telah pergi menemui Ilahi. Demikianlah hidup, benar-benar tak ada yang bisa menebaknya.

Kala itu, aku yang masih berusia delapan hanya terpaku sejenak melihat perempuan itu pucat, di atas dipannya, kedua matanya tertutup rapat. 

Barulah saat pria itu memelukku, aku pun sadar bahwa perempuan itu sudah tak bernyawa. Seketika jeritanku memenuhi ruangan, seorang bocah sekolah dasar hari itu terpukul merasa kehilangan.

Kepergian perempuan itu membangunkan alam bawah sadarku, tentang ketidakabadian dan segala yang terlihat hari ini kelak kan menjadi bayang-bayang semu. 

Pada suatu hari, aku dan segala ketidakberdayaan akan berjalan seorang diri menghadiri pengadilan maha besar, menghadap seorang diri tanpa ditemani kedua orangtuaku, pun juga adik dan keluarga dekatku. Seorang diri diadili oleh Sang Pencipta diri. 

Oh waktu, pada hakekatnya semua yang hidup memiliki gilirannya sendiri. Kelak kan menjadi bagian dari orang-orang yang sudah lebih dulu dimakamkan. Menjadi sosok yang hilang di tengah keramaian dan mulai menelusuri dimensi berbeda, alam barzah.

Ingatlah nasihat Ulama Hasan Al Bashri Rahimahullah, "Barang siapa memuliakan dunia dia akan dihinakan oleh Allah,"

Wahai Pemilik Semesta, Allah Yang Maha Esa, kelak panggil lah kami untuk pulang ke pangkuan-Mu dalam keadaan husnul khatimah
Aaamiiin Ya Allah


Komentar