Seumpama Bandara


Kita sedang di bandara. Tujuan terbang pun sudah kita ketahui. Namun sayang, kita belum tahu jadwal keberangkatan. Segelintir orang perlahan-lahan sudah masuk boarding room, tak lama mereka masuk ke tubuh besi terbang, bergerak menuju tujuan. 

Sementara kita belum mendapat panggilan. Masih setia duduk di kursi ruang tunggu sambil sesekali melihat layar monitor jadwal penerbangan. Tak lama sejumlah orang bergabung bersama kita, duduk mengisi kursi tunggu yang masih kosong dengan beragam raut wajah. Ada yang cemas, bahagia, penuh senyuman, bahkan tak sedikit yang berderai air mata, terisak.  

Kita pikir, kita dulu yang dipanggil untuk naik ke penerbangan berikutnya, namun terkaan kita keliru, mereka yang baru masuk tadi malah lebih dulu mendapatkan jadwal keberangkatan dan bersiap memasuki boarding room. 

Kita pun sibuk memandangi mereka. Tampak salah satu diantaranya terisak, seolah enggan melangkahkan kaki memasuki kapal terbang. Ia tampak melempar pandangan ke belakang, memandangi kita yang masih duduk di ruang tunggu. Wajahnya yang sembab dan masih berair mata itu seolah sedang berbicara pada kita yang masih terpaku, “aku tidak mau pergi!” demikian kita menerka ucapan batinnya.

Ia adalah penumpang terakhir yang tak kunjung masuk ke badan pesawat. Petugas bandara sampai harus menariknya secara paksa agar mau masuk ke dalam. Upaya itu pun membuahkan hasil. Seorang yang nelangsa itu tak lagi terlihat di bandara, ia sudah masuk ke dalam pesawat yang siap membawanya ke tujuan.

Waktu terus berlalu. Siang dan malam berganti begitu cepat, hujan dan panas pun demikian. Namun kita, masih berada di bandara yang super sibuk ini. Tanpa tahu kapan akan terbang dan menjadi penumpang seperti mereka yang sudah lebih dulu berangkat. Kita hanya pasrah menunggu aba-aba petugas bandara, tanpa sedikit pun tahu kepastian kapan akan beranjak.

Di tengah penantian yang tak menentu ini, tiba-tiba hadir seorang renta yang baru tiba di bandara. Ia seorang diri dan tanpa membawa banyak perlengkapan. Tak ada koper besar atau tas jinjing mahal seperti wanita kelas atas yang kita lihat beberapa waktu lalu di bandara. Tampilan perempuan renta itu sungguh sederhana. Ia pun bergabung bersama kita duduk di kursi tunggu. Tanpa sungkan ia lemparkan senyuman hangat menyapa kita. “Jangan pernah putus asa menanti, semoga ujung perjalanan kita menyenangkan,” ujar perempuan renta itu pelan.

Ucapannya yang singkat itu bak angin sejuk yang menyegarkan relung hati. Pengingat sekaligus penenang yang membuat diri kita menjadi nyaman. Meski penantian tak tahu sampai kapan, namun entah kenapa ungkapan perempuan renta itu amat menyentuh kalbu, seolah berbicara agar kita jangan mengisi penantian ini dengan rentetan sikap putus asa.

“Selamat tinggal, saya harus pergi!” tak lama ia bangkit dari kursi bersiap menuju boarding room. Tidak sampai satu jam, perempuan renta itu mendapat panggilan terbang lebih cepat. Sebelum kakinya melangkah, ia tatap kita lekat, penuh makna. 

“Taat dan berserahlah, karena itu kunci memperoleh jadwal keberangkatan sesegera mungkin,” ia memberi petuah. Setelah itu, perempuan renta itu beranjak seorang diri memasuki tubuh besi terbang, ia sempatkan diri berbalik badan melihat kita yang masih duduk di kursi tunggu, ia lambaikan tangannya menyiratkan tanda perpisahan sembari tersenyum bahagia.



credit: Unsplash.com/Marco López

Bandara masih tetap ramai, hilir mudik manusia di tempat ini tak pernah berhenti. Dalam relung hati yang paling dalam, kita berharap bisa pergi meninggalkan bandara seperti perempuan renta itu, yang ikhlas dan penuh kebahagiaan. Sebaliknya, kita berharap tidak berangkat seperti seseorang yang terisak itu, yang enggan meninggalkan bandara seolah membenci tujuan keberangkatannya.

Benar sudah, bandara ini fana, sementara tujuan kita adalah keabadian. Biarlah kita menjadi penumpang yang menunggu, sambil sibuk merayu Sang Maha Satu agar memberi kita akhir hidup yang syahdu. Wahai jiwa, taat dan berserahlah!


Komentar