Tentang Perjalanan Ribuan Tahun

Entah sudah berapa banyak waktu terbuang percuma, habis untuk hal-hal yang mungkin lebih banyak unfaedah dari pada faedahnya. Kita kadang lena, seakan hanyut dengan dinamika duniawi, gemerlap yang ditawarkan dimensi fana ini seolah meninabobokkan kita untuk lupa, lupa kalau nanti semua ini akan sirna. Ya,tak ada yang tersisa selain Dia, Dia, dan hanya Dia.

Beberapa waktu lalu saya melihat timeline salah satu pengguna media sosial, seorang pesohor yang kini mualaf. Alhamdulillah. Ia berbagi sebuah gambar yang membuat bulu kuduk berdiri. Gambarnya sederhana, namun konten dan pesan di dalamnya menampar jiwa. Gambar tersebut berjudul "Perjalanan Kita".

Isi gambar itu seperti sebuah peta jalan atau rute yang dialami manusia mulai dari tiada hingga nanti tiba di tempat paling kekal, akhirat. Ya,  kita adalah pengembara yang akan menelusuri jalan itu. 

Dimulai dari alam roh, lalu alam kandungan, alam dunia, kemudian berlanjut ke alam kubur, setelah itu terjadi kehancuran alam semesta. Lalu berlanjut ke hari kebangkitan. Kemudian tiba di padang mahsyar, terus ke perjalanan berikutnya hingga sampai pada sirat yakni jembatan yang menentukan saya dan semua manusia akan berlabuh. Ya, surga atau neraka.

Gambar sederhana itu memecah konsentrasi saya, beberapa kenangan lama berputar-putar di kepala, kilas balik dosa masa lalu, keburukan yang pernah diperbuat, dosa yang silih berganti, ah diri, lumuran dosa membuat saya membatin, "apa yang sudah saya persiapkan untuk pulang nanti?"

Sekarang, saya dan kita masih  ada di dunia yang dimensi waktunya tidak seekstrim akhirat. Kenapa saya menyebutnya ekstrim? karena satu hari di akhirat sama dengan 1.000 tahun di dunia.  Masya Allah, 1.000 tahun? 

Kini, di sisa-sisa usia, apa bekal yang sudah dipersiapkan? sebab perjalanan nanti,ya, perjalanan setelah dunia ini hancur, jauh lebih lama, dan hanya Allah yang tahu seperti apa hari itu terjadi.

Kadang saya suka membatin sendiri tatkala sekelumit masalah mampir dalam hidup, kadang suka menggerutu, bak manusia yang tidak ikhlas menjalani skenario-Nya. Padahal, Sang Penguasa, Rabbul a'lamin, tak pernah meleset dan tak pernah salah memberikan peta jalan hidup kita. Tinggal saya, tinggal saya mau kemana, mau ambil jalan apa, mau lewat jalan yang sesuai tuntunan-Nya dan Rasulullah SAW, atau jalan yang dibuat oleh iblis? Na'uzubillah. Wahai Dzat yang Maha membolak balikkan hati, tuntunlah hati kami agar terpaut pada-Mu, taat pada-Mu, dan menjalankan perintah-Mu.

Dok pribadi 


Kepada-Mu wahai Penguasa jagat, tangis ini pecah saat mengingat segala laku diri, berpaling dan tak taat, keluar dari tuntunan, menuhankan ego untuk mencari kebahagiaan semu. Betul sudah kata kebanyakan orang, "Dunia kalau dikejar, gak ada habis-habisnya,"

Ya, kalimat itu menohok sekaligus cambuk pengingat. Bahwa semua yang ada di dunia ini semu, tak abadi, hancur, musnah, dan hanya amal yang akan abadi mendekap bersama kita nanti. Ya,  hanya amalan yang nanti berdampingan dengan kita di suatu alam setelah kita pamit dari dunia ini. 

Segala liku, tantangan, cobaan, ujian, sungguh semuanya ada masanya, tak akan selamanya, dan tentu tak akan abadi. Allah menguji kita untuk menilai seberapa sabar kita menghadapi segala ritme. Semoga ikhlas selalu jadi pakaian kita, agar dalam segala cuaca, kondisi, kita tak pernah sendu, karena Rabb selalu memeluk kita. 

Ya Rabb, limpahkan karunia dan kemudahan bagi kami menjalani segala ujian dan karuniakan kami kesabaran dan keikhlasan dalam menjalaninya...

Kiranya jangan pernah lagi kita absen berzikir, meminta ampunan-Nya. Sebab dosa menggunung butuh penawar, dan istighfar adalah penawar yang Allah berikan pada kita. 

Namun banyak istighfar yang terlantun jarang diresapi maknanya, hingga ujungnya membuat lalai dan jadi tidak serius. Dalam satu kesempatan, saya pernah mendengar Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri berkata,  "Allah gak akan menerima sebuah doa yang dipanjatkan dari hati yang lalai dan tidak serius, sebab banyak orang istighfar tapi tidak diresapi." 

Jangan lelah, jangan putus asa dari Rahmat Allah, sebab dengan beristighfar menghilangkan dosa, juga menghilangkan efek samping dari dosa yang dilakukan.


Saya pun teringat pada suatu hari yang cerah, awal September 2018. Saya terbang dari Surabaya kembali ke Jakarta. Di perjalanan udara, saya duduk di dekat jendela pesawat. Kawanan awan yang menggantung di langit biru yang cerah menyita mata saya pagi itu. Rabb Maha Kaya, Rabb Maha Pencipta. Mata dimanja menyaksikan hamparan langit. 

Apa jadinya kalau Allah tidak selamatkan perjalanan kami hari itu, mungkin pesawat sudah terombang-ambing lalu tersungkur ke daratan atau lautan , hancur, dan saya juga rombongan mungkin sudah tiada.

Namun Rabb Maha Pelindung, Dia, hanya Dia, Sang Maha Pengatur yang tidak ada satu pun luput dari penjagaan-Nya. Adalah Engkau Ya Rabb, Pelindung kami. Sudah sepatutnya kita yang kerdil ini meminta ampun, meminta pertolongan, meminta belas kasihan-Nya. Sebab Dia Maha Penyayang. 


Allah SWT berfirman:
"Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura 42: Ayat 30) *Via Al-Qur'an Indonesia http://quran-id.com









Komentar