Tentang Pria Kharismatik Itu


Empat tahun ke belakang, ribuan hari yang lalu, adalah memori yang masih terekam jelas di benak saya. Tahun 2012,  untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan Bang Radzie, pria tambun dengan rambut pendek, berkumis tipis dengan alis matanya yang tebal. 

Ia menyapa saya dan beberapa teman lainnya yang hari itu masuk dalam kelasnya. Kami memulai perkenalan dengan suasana hangat, ramah, dan mengalir tanpa canggung atau pun segan satu sama lain. 

Gambar dikutip dari profil BBM terakhir

Ia berdiri di hadapan sejumlah siswa yang siang itu bela-belain diri melawan terik, demi mengikuti kelasnya. Materi yang ia ajarkan hari itu adalah tentang jurnalistik cover both side, yakni bagian dari etik seorang jurnalis untuk berlaku adil terhadap pihak-pihak yang menjadi objek dalam berita yang disiarkan.

Pria itu benar-benar kharismatik di mata saya. Untuk orang yang baru mengenalnya,  jujur, saya terkesima dengan ilmu-ilmu jurnalistrik yang dia ajarkan. Ia melatih kepekaan kami dalam mengangkat suatu hal yang layak untuk djadikan berita, dengan lebih dulu mengajarkan kami soal pondasi 5W+1H sebagai modal penting jurnalis untuk terjun ke lapangan.

Dia benar-benar kaya ilmu, tapi tak sungkan berbagi. Ada saja canda bahkan gelak tawa saat kelas jurnalistiknya berlangsung. Pelan- pelan ia pengaruhi kami tentang pentingnya dasar-dasar jurnalistik sebelum memulai lebih dalam mengayun langkah menemui sumber-sumber berita.

Setelah beberapa bulan menimba pengetahuan jurnalistik, baru lah kami dilepas untuk diuji menjadi seorang reporter magang. Sebulan masa magang, saya ditempatkan menjadi bagian dari reporter magang di acehkita.com, media yang bikin saya grogi karena berita-berita features-nya yang bagus betul. 

Bukan main, ketika memulai hari pertama magang, saya canggung dan deg-degan, apalagi dimentori langsung oleh Bang Radzie yang jago sekali menulis. Saya ingat di hari pertama magang,  ia memberi kebebasan bagi saya untuk mencari berita dengan inisiatif saya sendiri.

Di  Acehkita.com, di bawah bimbingan pimpinan redaksi seperti Bang Radzie, saya benar-benar merasa beruntung. Beliau membimbing saya dengan baik dan tegas. Tulisan saya banyak yang dirombak habis, bahkan nyaris diganti baik dari angle sampai paragraf oleh Bang Radzie. Mental dan kepekaan saya dalam menulis berita di uji saat itu. Dan beliau benar-benar pembimbing yang tidak abai terhadap kinerja saya dari hari ke hari. 

Email Bang Radzie saat evaluasi tulisan saya
Ketika masih magang di acehkita.com

Tidak sedikit tulisan saya yang selalu mendapatkan noted yang panjang dari Bang Radzie, entah itu tidak tepat mengambil angle berita, tulisan kurang mendalam, alur yang berantakan, hingga kurangnya komponen 5W+1H. Dia menjabarkan tiap-tiap kalimat saya yang keliru dalam tulisan, dan hal itu membuat saya terpacu, komentarnya adalah modal besar dan berarti buat saya untuk bisa lebih baik lagi ke depan. Di tengah jadwalnya yang super padat, Bang Radzie masih sempat meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.

Di Muharram Jurnalism Collage (MJC), saya bersyukur bisa bersekolah dan diberi kesempatan magang di media. Meski hanya beberapa bulan, sungguh pertemuan dengan guru-guru jurnalistrik hebat di MJC membuat saya yakin, bahwa jurusan kuliah yang saya pilih hari itu adalah masa depan saya. Terlebih dengan ilmu-ilmu yang diajarkan Bang Radzie.

Di warung kopi pun diskusi kecil kami berlangsung hangat. Tanya jawab dan cerita soal perjalanannya menjadi jurnalis menjadi bagian dari cerita hangat jelang magrib hari itu.

Lulus dari MJC, pertemuan saya dengan sang guru mulai jarang. Meski masih dalam satu kota, saya jarang bertemu Bang Radzie karena aktivitas kampus yang padat dan mulai sibuk bergulat dengan skripsi.  Kami pun hanya sering berkomunikasi lewat aplikasi messager Facebook, atau chatting di BBM.  Kadang beliau juga hadir dalam diskusi yang digelar DETaK jika ada pembekalan ilmu jurnalistik untuk anggota persma baru.  

Saya buka lagi percakapan waktu itu, Februari 2014. Ketika beliau mengganti foto profil facebook-nya dengan tampilan rambut gondrong hingga melewati bahu. Dengan penasaran saya bertanya, “Rambutnya kenapa gondrong dulu bang?” Bang Radzie pun menjawab dengan candaan. “Faktor U, makanya dipangkas he he,” ujar dia. 

Dari percakapan itu, saya mulai cecar dengan pertanyaan lain, seperti kenapa dia harus gondrong rambut. Percakapan kami pun makin panjang, dan ia bercerita soal masa perantauannya bekerja di Jakarta. Di ibu kota, rambut gondrong berguna untuk menjadi pelindung diri,setidaknya aman dari todongan preman Kampung melayu, begitu kilahnya dalam canda. 

Tanpa sungkan, ia pun berbagi kisah hidupnya di tanah rantau bernama Jakarta. Soal copet, dan keberuntungannya bebas dari hipnotis. Berikut ini link tulisan pribadinya yang beliau share ke saya untuk melengkapi dialog maya kami hari itu. http://www.radzie.com/2005/09/hipnotis.html

Tahun pun berganti, kami tak lagi bertemu. Dan Jakarta menjadi kota baru bagi saya setelah lulus dari kuliah. Di kota serba macet ini, saya putuskan berkarir di media, menjadi reporter, serupa dengan rutinitas saya ketika di kampus dulu, dan momen magang sebulan di bawah bimbingan Pak Bos acehkita, Fakhrurradzie Gade.

Yang namanya hidup, tak ada yang tahu siapa, kapan serta bagaimana kondisi seseorang di hari ini, esok, atau seterusnya. Begitu juga kondisi pak Guru, abang yang selama ini saya kagumi. Sejak di Jakarta, saya sering melihat timeline beliau yang selalu muncul di akun facebook dan juga BBM yang saya miliki. 

Lewat media sosial, rupa beliau terekam dalam gambar hari ke hari. Entah itu foto yang ia masukkan dalam profil BBM atau facebook, yang jelas rupanya tak seperti dulu lagi. Ia tampak kurus, jauh dari kata tambun seperti rupanya di tahun-tahun lalu. Sampai akhirnya saya diberitahu teman bahwa beliau menderita sakit sehingga tubuhnya ikut kurus, begitu pun wajahnya yang ikut tirus. 

Namun di setiap foto yang ia tampilkan, selalu wajah tersenyum yang ia munculkan, bagai menutupi apa yang selama ini ia alami, yang jelas ia tidak  seperti “orang sakit” yang terbaring lemah di rumah sakit.Buktinya, saya sering melihat beritanya muncul di portal acehkita, dan foto-fotonya bersama rekan jurnalis lain yang bertempur di lapangan kala musim pilkada tengah berlangsung di Aceh.

Lalu kabar yang menghentak pun datang menghampiri. Jelang pukul 00.00  WIB, Jumat, 11 November 2016. Grup WhatsApp MJC di ponsel saya mulai bermunculan pesan, awalnya saya mengira kabar duka dari orang lain. Namun ketika saya baca kembali dengan jelas nama yang berpulang, saya terpaku, terdiam lama dan air mata tak kuasa bersembunyi. 

Pukul 23.00 WIB di rumah sakit Pertamedika Banda Aceh, Bang Radzie menghembuskan nafas terakhir.
Terbesit rekaman masa-masa belajar bersama beliau, di otak saya hanya ada kalimat-kalimat tak menyangka. Timeline media sosial dipenuhi ucapan belasungkawa. Sungguh rencana Tuhan tak ada yang tahu. Bang Radzie dipanggil Sang Khalik. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’unn.

Segala kenangan bersama beliau adalah rasa syukur yang saya panjatkan pada-Nya. Ilmu dan pengalaman Bang Radzie selama ini begitu banyak dan berguna untuk kami. Pria bersemangat dan tak mudah menyerah itu sudah pergi. Tanah rencong bak kehilangan putra jurnalis terbaik yang selama ini menulis dengan begitu apik, renyah, dan padat makna. Lelaki yang tidak sungkan membagi ilmunya. Kuli tinta yang lihai meramu kata menjadi tulisan yang berarti.

Foto Bang Radzie  yang saya kutip dari istagramnya


Selamat jalan Bang,

Jujur, Anggi bangga bisa kenal abang, sampai bisa berkesempatan gabung di acehkita.com, jadi jurnalis yang selalu abang ceramahin karena banyak laporan lapangan yang belum lengkap.

Selamat jalan Guru,

Tulisan dan tuturmu adalah tauladan. Belajar denganmu adalah sebuah kehormatan. Adalah harum namamu yang membuat kami takjub. Abang mengajarkan kami yang masih hidup untuk tidak berhenti berkarya, menulis, membuka cakrawala pembaca. Terimakasih Guruku, Abang yang luar biasa, editor super yang bisa bagi-bagi waktu kerjanya untuk ngajarin kami. Semoga khusnul khatimah untukmu Abang, menjadi penghuni syurga-Nya. Alfatihah.


Komentar