Bukan Pria Romantis

“Hiasi hidup ini dengan iman, dan nanti kembali dengan iman pula, belajar yang giat, agar kelak nanti kalian berguna bagi agama, nusa dan bangsa,”

Kalimat itu masih terpampang jelas di atas secarik kertas putih yang mulai berumur. 10 Februari, tepatnya 7 tahun yang lalu, pria itu melimpahkan doa terbaiknya untuk putri sulung beserta putra tertuanya yang berulang tahun di bulan yang sama. Bapak menyerahkan surat kecil yang isinya begitu mulia. Jika dilihat sekilas, kertas itu memang tidak memiliki magnet warna yang mampu menyita perhatian mata. Namun kalimat di dalamnya bagai episentrum yang mampu mengalahkan gurat-gurat lipatan kecil yang terbentuk pada kertas putih yang kian usang itu.

sumber gambar : ceritaayah.tumblr.com

Usianya kini tak lagi semuda dalam frame foto kami saat asyik bermain hujan buatan zaman TK dulu. Waktu itu Bapak tidak pernah absen menjadi tokoh dibalik meriahnya mandi dengan hujan buatan dari saringan pencuci sayur milik Bunda di dapur. Jujur saja, rumah kami memang tidak secanggih kamar mandi hotel bintang lima dengan bath up disertai shower keren. Tapi Bapak mampu menyulap saringan menjadi shower multifungsi yang terkadang  mengundang tawa penghuni rumah.

Sungguh atas izin-Nya lah, waktu mempertemukan Bapak dengan usia setengah abad, usia yang membuat raganya kadang meringis sakit jika didera demam tinggi, hingga perih yang sesekali menyiksa kedua matanya ketika sibuk menatap monitor komputer, menyusun laporan demi laporan keuangan yang menggerus waktu istirahat malamnya yang sedikit. Ah, malam itu saya melihatnya terkapar pulas di atas tikar rotan, pria itu menyulap lengan kanannya sejenak menjadi penyangga kepala, menutup harinya yang lelah lewat tidur yang singkat.

Bapak bagiku adalah pria yang hangat dan penyayang, meski ia bukanlah pria romantis yang selalu datang memberikan bahunya sebagai sandaran kami, namun lelaki itu bisa menggetarkan hati putra-putrinya untuk takjub akan kepiawaiannya bertingkah laku. Bahkan saat masalah hebat mendobrak hidupnya, Bapak tidak seperti Bunda yang larut dalam emosi berkepanjangan, pria itu tenang menegakkan wajahnya, mencoba menghadapi rintangan sebagai ritual hidup yang mutlak dijalani dengan perasaan suka cita. “Jangan emosi Nak, sabar dan tetap berdoa, kita gak boleh begitu dalam hidup,” terkadang kalimat itu spontan mampu menenangkan hati ini tatkala sebuah masalah baru menggemparkan jiwa yang tadinya tenang.  

Jika hari itu kerabat Bapak tidak berkunjung ke rumah, mungkin sampai hari ini saya tak akan pernah tahu tentang bagaimana pria itu bahagia berbagi cerita tentang ke-empat anaknya di rumah. Lewat bincang singkat sore itu, tamu bapak hari itu begitu ramah menyapa kehadiranku di rumah, “Ini yang suka nulis itu kan?” katanya tersenyum. Jujur saja, kalimatnya mengguncang saya, di luar sana Bapak begitu antusias, hal ini benar-benar tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Diam-diam, pria sederhana itu bercerita hal bahagia yang pernah ia rasa, mungkin saat tahu si sulungnya mulai tertarik meluapkan gagasan lewat tulisan. Ya, semua ini karena dukungan Bapak ^^

sumber :kaskus.co.id
Ketika waktu terus berguling maju, ketika beberapa momen terkesan seperti menjepit sendi-sendi tulang, ketika hal-hal di luar dari pemikiran tiba-tiba muncul mendebarkan seisi rumah, Bapak hadir membawa kabar suram yang dibungkus rapi lewat senyumnya yang tanpa pamrih.

Lewat cerita dari Bunda, saya bisa merasakan ada yang mengharu-biru pada sekelumit cerita yang Bapak beberkan malam itu.  Rinai air mata bunda seakan menggambarkan betapa malam mendebarkan itu adalah bentuk dari rahmat Tuhan yang harus dihadapi. Belasan tahun mengabdi, ternyata tempat yang dulu menjadi ruangnya menggapai pundi rezeki harus terhenti. Hebatnya, Bapak tidak duduk menghujat nasib, ia minta kami untuk tidak cemas, sebab Tuhan tidak tidur dalam mengawasi langkah hamba-Nya.

Ramadhan kemarin adalah momen bersama yang tak kan lekang dalam benak, Bapak yang biasanya pergi pagi dan pulang menjelang senja, hari itu setia membantu bunda mengurusi warung, lalu duduk rehat sambil membaca berita bola favoritnya. Tentu mustahil jika Bapak tidak bersedih, namun ketegaran yang ia munculkan sontak menjadi penyemangat dirinya dalam berjuang menjalani hari. Karena Bapak yakin, tidak ada yang buntu jika Tuhan yang Maha Kaya siap untuk berkehendak. Inilah yang sering mengundang Bunda dan kami berkaca-kaca usai shalat magrib, saya takjub akan ketegaran pria itu. Sungguh begitu takjub.

Tatkala bulan berganti, ketika ikhtiar yang ia gaungkan berbuah manis, Bapak diterpa pilihan berat demi menuntaskan misi memperjuangkan kami, Ya, ke empat anak manusia yang terpisah dengan kegiatan masing-masing. Banda Aceh-Medan-Jakarta, Bapak dan Bunda yang mengizinkan kami berlayar ke tiga tempat itu untuk menuntut ilmu. “Sampai hari ini Bunda gak nyangka kalian bisa jauh-jauh begini sekolahnya,” kalimat Bunda yang sering ia lontarkan dibalik telepon. Bunda adalah wanita pelipur lara yang tidak henti menyemangati Bapak. Dengan segenap hati, Bapak menjawab ikhtiar yang ia perjuangkan berbulan-bulan. Meski resiko berpisah dari keluarga telah ia sadari penuh, ia yakin ujian ini akan berakhir baik nantinya. Ya, usai mendapati restu dari keluarga, Bapak mantap melangkahkan kakinya, meninggalkan kota kelahiranku, mendatangi negeri baru dengan tingkat polusi setara kota Jakarta.

 “Bapak makan apa hari ini?”

 “Sehat-sehat aja kan?”

 “Gimana di sana? Jaga kesehatan ya Pak,”

Saya selalu merindukan pertemuan suara dengan pria itu, kadang setiap mendengar telepon darinya, saya berusaha mengajak air mata untuk berdamai, jangan sampai lelaki itu tahu jika si sulung tak kuasa menahan haru.


sumber gambar : puisidewi.blogspot.com
Tentu banyak pelajaran terbaik yang Bapak tularkan pada kami. Bahwa hidup bukanlah sekedar merasakan zona nyaman, sebab zona yang terkadang terjal pun adalah pelengkap yang turut memberi warna dalam hidup ini. Hidup yang serba pelik bukan lahir karena Tuhan kejam pada hamba-Nya, Tuhan hanya ingin hamba-Nya tidak menyerah menggapai cinta dari-Nya, sebab Tuhan telah berjanji, setelah kesulitan itu ada kemudahan.

Beliau memang bukan pria romantis, tapi ia adalah pria paling mengerti dan mencintai sepenuh hati. Datang menentramkan hati meski sesekali terkesan dingin, tak pandai meluapkan isi hati namun cinta akan berbagi. Ia bisa menyembunyikan rinai air mata, namun tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya. Pria itu memang bukan pria romantis, namun doa yang ia lantunkan adalah kalimat penyejuk sanubari, terima kasih Tuhan, pria baik hati itu Engkau hadirkan sebagai orang tua kami. Love you almost full my Father.

Seorang Ayah hanya ingin putra-putrinya dapat lebih baik darinya, Ayah hanya ingin menuntun anaknya agar mampu berjalan di zona yang benar. Cintanya yang tanpa pamrih menumbuhkan rasa bahagia dihatinya. Sesungguhnya seorang Ayah amat terharu jika kehadirannya selalu dirindukan. 
               


Komentar

  1. nggi i love this post ,thank make me some heart quake to know how much i love my father :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. YUPP..senang rasanya bisa berbagi di sini,hehe, we proud
      our father whenever :)

      Hapus

Posting Komentar