Rute Rel Kereta

Rute rel kereta itu jauh, panjang, dan kadang berkelok. Tak tentu bisa lempang sampai tujuan, terkadang bisa saja muncul masalah di pertengahan jalan.

Dalam ritme hidup yang sudah sedemikian abad ini, ritual manusia tetap lah sama. Berkembang biak, menurunkan generasi baru, lalu generasi lama menjadi usang dan terhempas lewat jalur kematian. 

Itulah dunia, tempat kita bernaung saat ini. Ada yang datang, ada yang pergi. Dari mulanya menjadi makhluk kecil, tak lama beranjak tumbuh menjadi dewasa.

Ketika telah dewasa, orang-orang sekitar mulai menatap kita beda. Tak ada lagi tawaran makan siang yang disuguhkan langsung oleh Bunda, atau pergi ke luar rumah dalam genggaman jemari ayah.  

Gambar dokumentasi pribadi

Kita sudah masuk dimensi baru, meninggalkan putih abu-abu, bersahabat dengan kerasnya hiruk pikuk di alam terbuka. Di alam yang disesaki manusia yang tumpah ruah, berbeda tujuan, berbeda pandangan. 

Orang tua kita selalu berpesan untuk jangan takut melangkah, meski pun mereka tahu tak ada lagi pengawasan mata mereka akan langkah kaki kita. Tapi satu hal yang mereka lekatkan dalam hati, mereka percaya. Ya, mereka percaya pada kita.

Jika jejak kaki sudah terlalu jauh menyusuri sudut-sudut kehidupan. Akan tiba masanya hidup sendiri terganti dengan berbagi. Pada orang baru yang sudah kita kenal sebelumnya, atau belum pernah sama sekali.

Peristiwa itu menawarkan pada kita tentang sebuah pilihan . Tawaran tentang mengabdi pada seseorang yang akan menjadi pemimpin jalan. Pemimpin rute baru dalam hidup kita, orang yang berikrar atas nama Yang Esa, lalu meminta izin pada Ibu Bapak kita untuk menjadi tulang rusuknya. 

Dalam balutan janji, padanya Ayah berikan titah, menjaga buah hati yang dulunya lemah untuk menjadi sosok wanita  panutan bagi anak-anaknya kelak.

Ayah Ibu akan melepas kita, adik-adik pun begitu. Jiwa raga akan berdiam di rumah baru. Akan terasa sulit untuk bertemu Ayah Ibu seperti ritual sarapan pagi sederhana saat sekolah dulu. Kita akan mengandalkan telepon untuk bertukar kabar, bertanya kabar Ibu, Ayah, adik-adik semua.

Lalu, bersama orang itu, akan terbentang rute-rute baru, hamparan tanah lapang yang bisa saja rimbun, atau gersang. Segala rasa dan asa menjadi ritme hidup berdua. Tak peduli hujan panas, Ayah sudah titip pesan untuk melangkah tanpa takut hujan badai. 

Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan? Setelah ratusan ribu hari berganti, langkah kita akan sampai pada kehendak Pemilik jagat. Kembali pulang, firman-Nya tak berdusta tentang hal itu. Dan kita, harus bersiap, berdoa supaya kembali menyatu di alam kekal-Nya.

Baiklah, dunia fana ini jangan membuat kita larut tak tentu arah. Hidup sebentar ini mampu merangkum banyak pelajaran dalam langkah kaki kita. Aku ingin berjalan dalam langkah yang Dia Ridhai. Semoga kamu juga.

----------

Tulisan ini ditulis di dalam gerbong kedua kereta ekonomi Jakarta -Cikampek.

Sabtu, 7 Mei 2016






Komentar

Posting Komentar