Pencuri Perhatian

Dua hari lalu, saat langkah kaki teramat malas bergerak pulang, saya memilih untuk melaksanakan shalat Isya dulu di sebuah mesjid yang terletak di Basement Wisma Mandiri, Jakarta Pusat. Suasana masjid tak begitu ramai, jamaah wanita hanya saya sendiri, selebihnya diisi oleh kaum adam di shaf paling depan.

Azan Isya belum berkumandang, namun mata saya beberapa kali menangkap langkah yang dengan gesit naik turun tangga di sisi kiri saya. Berkopiah hitam, kemeja abu-abu dengan celana kain berwarna hitam. Sebelum turun ke mesjid, kami sempat berpas-pasan di area wudhu wanita. 

Ternyata ia baru saja membersihkan tempat tersebut. Ketika Azan isya mulai mendayu-dayu. Saya sudah melihat penampilan baru pria itu. Tadinya berkemeja abu, kini berganti koko putih rapi. Ia tinggalkan sapu dan gagang pel. Shalat isya berjamaah pun dimulai.

(Dok: pribadi)

Saya semakin penasaran dengan pria itu, usai shalat isya, saya mencuri-curi pandang melihat aksinya. Saat jamaah lain satu-persatu meninggalkan mesjid, ia dengan pelan dan hati-hati mengangkat kotak amal berbentuk persegi, tingginya seukuran bocah taman kanak-kanak. Ia peluk kotak amal tersebut erat. 

Pria itu berusaha menyimpannya di sebuah ruangan kecil di bawah tangga, tempat dimana gulungan sajadah dan kotak amal tersimpan rapi di dalamnya. 

Saya beranjak menaiki tangga mesjid menuju tempat penyimpanan sepatu. Kembali suara hiruk pikuk memasuki ruang telinga. Mobil yang keluar dari parkiran, sepeda motor, dan para karyawan yang berjalan kaki. Saya menepi sejenak, duduk di atas keramik yang di sulap menjadi bangku rehat di lokasi penitipan sepatu. 

Rasanya tak ingin pulang dulu, masih penasaran dengan aksi lanjutan pria tadi. Benar saja, saat saya masih duduk santai, ia muncul dari belakang sambil membawa sebuah wadah plastik berisi makanan sisa. Pelan-pelan ia ayunkan langkahnya menuju dua ekor kucing yang tak henti bersuara. 

Saya takjub, perangainya benar-benar luar biasa. Kembali, saya mulai merasa malas untuk pulang ke rumah. Saya perhatikan langkah kakinya menuju beranda dekat penitipan sepatu.  Ia berjongkok sebentar, membenarkan duduk karpet karet  yang mulai miring ke kiri. Tak lama kemudian, karpet sudah lurus berkat usahanya. 

Langkahnya mulai berpindah ke sisi pintu masuk mesjid. Mula-mula ia mengunci pintu masuk untuk jamaah pria, lalu menyusul ke pintu jamaah perempuan tak lupa dengan merekatkan gembok. Selesai sudah tugasnya, lampu masjid sudah padam. Sembari menenteng tas kecil. Ia tinggalkan beranda, melangkah pelan menginjak trotoar pejalan kaki. 

Saya memperhatikan langkahnya dengan seksama, sampai memastikan punggungnya menghilang dari mata. Dia sudah pergi, orang yang baru saya temui pertama kali di mesjid itu. Pria dengan kerutan wajah yang masih aktif bekerja. 

Usianya memang senja, namun tak menciutkan tugas mulianya membersihkan ruang wudhu, mengangkat kotak amal, hingga memberi makan kucing tanpa tuan. Dia, seorang kakek bertubuh ringkih, tak peduli berapa banyak uban muncul di kepalanya. 

Sosok yang begitu mengecohkan mata untuk takjub melihat kesederhanaan lakunya, dan senyum ikhlasnya saat dua ekor kucing sudah memakan lahap sisa makanan yang ia bawa. 

Saat itu saya belum dulu beranjak menghampiri halte busway, menunggu bis panjang dengan pendingin yang nyaman itu. Benak saya mulai memunculkan wajah pria hebat di hidup saya, dialah Bapak.

Pria yang kini masih berjuang mencari karunia dari pagi ke malam. Tak peduli dengan uban yang mulai merenggut helai rambut hitamnya, perjuangan sang Kakek hari itu membuat saya mengingat perjuangan keras Bapak. 

Pria yang jauh di mata namun tak pernah bergeser namanya di hati.  Ah, beginilah ternyata hidup. Di tanah yang tak sama seperti dulu, banyak hal yang muncul dihadapan. Tanah tempat orang berkumpul mencari nafkah, berbagai rupa, berbagai rasa. 

Belajar dari perangai sang Kakek hari itu membuat saya percaya, bahwa warna kebaikan tak kan lekang. Ia akan terus ada jika kita tak menyerah menghamba pada-Nya. Tuhan menciptakan saya, anda, dan semua supaya kita saling berjabat, memahami, dan belajar. Hari itu, saya merasa damai bisa melihat kesederhanaan dari sang Kakek, sosok pencuri perhatian. Di tengah ramai ia hadir,  muncul dengan tampilan apa adanya, namun menggugah mata. 

Di padatnya kota bernama Jakarta, adalah hal berharga bisa memandang kesederhanaan di tengah perkasanya gedung pencakar langit. Sosok pencuri perhatian hari itu, menyiratkan sebuah pesan,  sebarkan kebaikan meskipun seberat zarrah. 

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, “ (Q.S Al-zalzalah ayat 7).

---------
Jakarta,
Friday, 
18/03/2016

Komentar