Manakala Kita


Kita ibarat bangku taman yang terkadang dihampiri pengunjung baru, lama, atau yang saban hari datang. Bangku taman yang tak pernah tahu tentang siapa yang akan duduk di atasnya besok. Bangku taman yang sering ditemani hujan kala sejumlah orang lebih memilih berteduh di bawah atap atau pohon.  

Kita ibarat kabut yang lebih memilih samar-samar, namun terkadang menebal saat rindu mulai meradang. Kabut putih yang tampak dari puncak bukit, lalu membawa hawa dingin beberapa saat. Membuat kita kadang memilih diam tak menyuarakan kata, hening.

(Dok pribadi)



Kita ibarat padang rumput yang rimbun nan hijau, sulit menemukan celah tanah.  Padang rumput yang membuat kita larut dalam lambaian semilir angin, hingga membuat kita larut dan terlena untuk menepi. 

Tatkala waktu menghadirkan pagi kembali ke malam, rasa lelah mampir, meminta mata terpejam sejenak. Menunda rutinitas demi kesehatan. 

Lalu kita, kita ibarat langit cerah di hari senin. Kita bertemu mereka, bertegur sapa. Dan kita, kita ibarat naik kereta api yang membawa banyak penumpang saat pagi. Gerbong-gerbong kereta menjadi dinding kita. Dinding yang membuat kita terpisah, lalu turun dengan tergesa didorong massa. Dan kita, berlari mengejar bus kota. Menuhankan kecepatan, tak ingin terlambat.

Manakala kita, tiba-tiba ingin duduk di bangku taman besok. Perhatikanlah langit, jika akan turun hujan, apakah kita juga berlari mencari atap seperti mereka? Atau memilih pohon? Mungkinkah tetap duduk di bawah rinai air langit? 

Kita meramaikan tanya dalam benak. Padahal kita sudah lama terpisah, bukankah ini waktu yang tepat untuk memecahkan hening? Atau mengobati rindu? 

Akhirnya, hujan pun turun membasahi bumi, melunasi janji pada Tuhan supaya dunia bebas dahaga. Dan kita pun berdamai, menunjuk satu sikap untuk bisa bersama. Panas, terik, hujan, badai, kita harus bisa lebih kuat dari bangku taman. Kira-kira demikian.

Jakarta,
28 Februari 2016

Komentar