Hingga Akhir Waktu

Usianya beranjak, sudah beberapa generasi manusia tenggelam lalu tergantikan dengan yang lahir di masa kemudian. Saat dulu menggenggam telepon hanya bisa dirasakan sedikit umat, sekarang sudah bukan lagi barang mewah. Bumi menua, namun ubannya hanya segelintir yang peka. 

Dok pribadi
Terkadang kita larut menduniawi seolah meninabobokkan kita untuk lupa rasa sakit akan berpisah, rasa sakit kematian, dan rasa sakit meninggalkan. Namun setiap orang sepertinya punya cara mengeksploitasi kemasan hidupnya, entah lewat cara bersuka ria saban hari, atau terlena dalam duka tiada berkesudahan. Kembali, pilihan hidup kamu sendiri yang tentukan. 

Tiap hari selalu ada yang meninggalkan dan selalu ada yang berdatangan. Silih berganti dua sisi kehidupan itu berlalu dalam hidup, menunjukkan gambar tentang ketidakabadian, bantahan akan dongeng pengantar tidur ala putri Salju yang selalu berakhir mesra dengan sang pangeran hati untuk selama-lamanya. Benar, itu hanya dongeng, bukan reka realita.


Dok pribadi (stasiun Tanah Abang Jakarta)

Wajah bumi siang dan malam selalu menyuguhkan banyak momentum, Turki yang sedang dihujani salju, Iran yang akan membangun nuklir, Republik Cina yang sibuk menggarap kapal induk supaya Laut Cina selatan tak dipeluk negara lain, konflik Suriah yang belum usai, Palestina yang terus berbenah, Amerika yang ingin kekar di bidang ekonomi, Paris yang menjaga ketat wilayahnya sejak tragedi ledakan, lalu Indonesia yang resmi masuk masyarakat ASEAN hari ini.  

Sudut-sudut bumi bergejolak dengan masing-masing peristiwa. Bahkan tanah air beta juga tak luput dari gema problema, di Timur Papua minta merdeka, di Barat ada tokoh gerakan aceh merdeka kembali pulang dari persembunyian.

Lihatlah bumi yang mulai krisis tubuhnya, kulitnya kering menggelupas akibat dibakar segelintir umat demi meraup nikmat. Sangking hebatnya, hembusan asap akibat ganasnya api membumbung hingga memencar kesana sini, menyesakkan dada balita tak berdosa sampai membius mati kelompok renta yang tak sanggup bertahan dicokol asap.

Efek berantai pun merembes lebar, orang suku anak dalam dibidik jadi tumbal, seakan hidup mereka yang menjunjung hutan agar berseri sudah tak jaman lagi di dunia modernisasi. Pejabat mencoba mendeportasi mereka, menjanjikan tempat yang katanya teduh, namun entah sudah seperti apa kelanjutan drama pribumi itu berlangsung hingga tahun baru pun terjadi.


Dok pribadi (Suasana Stasiun Tanah Abang )
Di atas bumi, ramai-ramai orang mengecam kenistaan, namun tak sedikit pula yang kenyang membabat hak yang bukan miliknya untuk masuk ke perut, mengendap, menjadi kotoran, lalu berakhir di ruang mini tempat berkumpulnya makhluk non manusia. 

Begitu kentara warna-warni kisah di atas perut bumi yang menyeruak, bahkan kadang berujung sadis dan sulit dipercaya akal. Anak yang mendustakan orang tua, orang tua yang membuang anak, panti jompo yang penuh dengan kaum senja yang punya riwayat keluarga berada, lalu jejeran mobil orang-orang berkantong tebal yang dalam sekejap bisa berganti-ganti mereknya. 

(Dok pribadi) Potret sudut kota Jakarta 
Namun, kemelut peristiwa di atas roda bumi bukan berarti membuat kita hanya bisa menjadi penonton dan mendengar omongan yang kadang punya maksud belaka, mengelabui, atau membuat "tidak ada" menjadi ada. Lantas, tatkala malam tahun baru sahut menyahut di atas bumi, tetap saja tak ada yang berubah kecuali hanya menyisakan kantuk akibat lelah, lalu gunungan sampah yang digubris esok subuh oleh tukang sapu jalanan berseragam.

Ya baiklah, waktu sudah berevolusi, bumi mengulang lagi agendanya mengitari matahari, mengulangi rutenya menjelajah bimasakti, tahap ber tahap menuju satu titik, lalu di pergantian umurnya dia disambut letupan aneka warna di langit yang gelap gulita, seolah menjadi ritual wajib masyarakat berbaju modernisasi sebagai pertanda bahwa jatah hidup bumi kian tergerus.

Saat bumi sudah disambut meriah seperti itu di awal tahunnya, milyaran umat mereka-reka, mencorat-coret rencana-rencana, mengaminkan banyak harapan, meminta doa terbaik, agar resolusi tiap pribadi tercapai, resolusi yang hanya setiap pribadi dan Tuhannya yang tahu, resolusi yang ditulis atau diingat, resolusi yang dibacakan atau dibiarkan tertempel di mading kamar, resolusi hidup yang berusaha menjadi optimis di tengah gersangnya ladang pesimis.

(Dok pribadi) 

Saat ada segelintir orang merasa berkecukupan, tetap saja ada yang masih merasa belum terpuaskan. Ada yang sibuk menggali-gali kekayaan, mencari nikmat yang membuat lupa permukaan.  Cara mengemas hidup cuma pribadi itu sendiri yang sanggup memberi labelnya, sebab pendosa yang membunuh banyak jiwa bisa saja bersimpul penuh sesal dan berubah menjadi manusia baru. Ia berhasil mengubah resolusi kelam masa lalunya menjadi lebih berarti. 

Tak jauh beda  dengan segelintir yang lain, mencoba-coba senang, lalu tergiur dan berpaling, sudah diberi nikmat namun kufur dan tersungkur memuja nafsu. Tuhan ditiadakan, lapar membuatnya berang dan mencerca, sebentuk potret kemasan hidup yang lambat laun menjauh dari Tuhan. 

(Dok pribadi)
Semoga kita bisa berbenah, dua sisi dalam hidup ini adalah kebaikan dan keburukan, memilihlah yang pantas, memilih peta hidup yang efeknya bisa jangka panjang, berdampak bagi sesama, dan tidak menjadikan kita lupa bersyukur atas segala rasa. Terima kasih bumi sudah berjasa mengitari masa, Tuhan memintamu menjalankan titah ini, semoga 2016 membawa manusia ke dalam pilihan yang tepat, pilihan yang mengantarkan pagi ke malam lalu malam ke pagi tanpa melupakan rasa syukur, tanpa lupa membasahi lidah dengan memuja-muja pemilik Semesta, hingga akhir waktu.

Jakarta, 
1 Januari 2016  

Komentar

  1. koki kata, cakep..
    problema hidup

    BalasHapus
  2. I love your word guys, so fresh and mengalir

    BalasHapus

Posting Komentar