Rindu di Hari ke Sekian

Aku memeluk malam tanpa bintang, malam yang gelap di mana bulan tak muncul membagi auranya. Sudah sampai di hari kesekian, raga dan ruh menyatu di pulau baru, tempat yang tak sama seperti dinding beton bercoretan gambar rumah anak-anak di gang Teungku Jalil, rumah sejuta cerita itu.

Sampailah di hari kesekian, saat Tuhan masih mempercayai raga ini menjalankan titah menjadi makhluk-Nya, manusia rapuh yang selalu memelas belas kasih-Nya yang maha luas. Di hari kesekian, aku belajar banyak hal, belajar menghargai waktu salah satunya.

Roda waktu yang begitu cepat beranjak, seakan dengan singkat menelan malam dan menggantinya menjadi pagi, lalu begitu kembali esoknya. Kadang rinai hujan menetes pelan, membuat seorang kakek tertidur pulas di atas gerobak kayunya nyaman. Gambar nyata itu adalah sketsa hidup yang membuatku belajar bersyukur. Nikmati karunia yang Dia beri, rahmat Illahi yang tak bisa dibeli.

Dok:pribadi 

Sampailah di malam ke sekian, saat cerita kehidupan menyasar manusia tanpa pandang kasta. Tuhan mengatur skenario berbeda bagi ciptaan-Nya, agar diri ini belajar memaknai sabda alam, bahwa dengan selalu menyertai-Nya dalam hati dan pikiran, beban berat berangsur minggat. 

Wahai malam yang gelap, saat suara rintik hujan sudah senyap, kamulah saksi segala aksi manusia bumi. Saat yang terlelap sudah lupakan dunianya, ternyata masih ada kaum papa yang setia mengais gunungan sampah, berharap masih ada botol plastik usang yang bisa diganti dengan rupiah. 

Malam masih bisu menjadi saksi, saat yang masih setia menyanyikan lagu dunia tak kuasa terlelap di bawah sinar lampu berwarna, mengaku kalah melawan mata agar terjaga. terkulai di atas sofa dengan bibir yang mungkin sudah keyang melahap bir. Lalu pagi menyadarkannya untuk bangkit dan berupaya menyetir dunia. 

Sampailah di hari ke sekian, dendang lama menghantarkan benak bertemu kisah klasik. Saat rindu mulai meninggi, berharap malam mengutus angin dan membawa pergi rihon meulambong. Hingga sampailah di ingatan lama, saat terakhir kali memeluk erat tubuh yang mulai renta, menjabat tangan yang mulai kasar, namun dua tangan itu yang senantiasa menengadah lama, berdialog dengan empunya Semesta, melayangkan doa terbaik, doa tulusnya.

Jakarta,
Minggu, 29 November 2015

Komentar

  1. suka bacanya ngi, belajar dimana?
    sama kami-kami ini, ngak rihon meulambong?

    BalasHapus
    Balasan
    1. That brat rihon meulambong ngon awak droe mandum lon,eunteuk peugot sesi khusus utk kalian :D

      Hapus
  2. wow keren puisinya.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat web yukk disini saja. terimakasih

    BalasHapus

Posting Komentar