Dedaunan Kering

Aroma tanah memenuhi udara usai disiram hujan, langit yang tadi berselimut awan hitam kembali merona. Satu demi satu langkah kaki terdengar menghentak, Azmi riang mengayunkankan jejaknya menuju surau, ternyata Tuhan berbaik hati memberi kesempatan bocah 7 tahun itu menyisir jalanan becek, mewujudkan niat mulia untuk shalat ashar bersama. 

Ucapan shalawat dari imam begitu syahdu terdengar, Azmi perlahan mencoba  melafazhkan salam terindah untuk baginda Rasulullah SAW, bukti kerinduan untuk pria yang ia kagumi usai mendengar kisah Nabi terakhir yang dibawakan Maimunah, Ibunda Azmi. Saat tengah asyik bershalawat, pria berjanggut tiba-tiba menghampiri Azmi, tampak kerut wajah yang kian menua itu tak bisa dibohongi mata. Namun lukisan senyuman dari kakek 60 tahun itu benar-benar meneduhkan pandangan. "Cu, kita pulang bareng saja yuk," ajak si Kakek pelan. Azmi mengangguk, ia eratkan genggaman tangannya pada si Kakek, bersiap meninggalkan rumah Allah.

Dedaunan kering dari pohon asam yang tumbuh di pinggiran jalan menarik perhatian Azmi sesaat, ia pandangi daun gersang nan mudah rapuh itu lekat, bolak-balik ia remas dedaunan kering itu di genggamannya. "Cu, daun kering itu pertanda Allah Maha Pencipta, lihat, bagaimana Tuhan mudah membuat daun yang tadinya hijau menjadi kering seperti itu," Sang Kakek seakan mengerti maksud hati Azmi. Betapa hidup yang telah bergulir selama ini adalah berkat dari campur tangan Ilahi semata.

"Kelak saat kau dewasa, berusahalah untuk lebih kuat dari selembar daun kering yang mudah rapuh. Jika banyak cobaan menghadangmu, cobalah untuk tawakkal dan kerahkan segala upaya karena Allah, sebab Allah Maha Tahu apa yang kamu kerjaan, Cu," 

foto by : folpenjember.blogspot.com

"Pokoknya, hadapi masalah itu!" Kakek mencubit manja ujung hidung Azmi pelan, spontan bocah itu tertawa geli. "Kau itu laki-laki hebat Cu, coba kau tengok, manusia yang sudah uzur pun ada yang masih enggan parkir sebentar untuk solat di mesjid, haha...." giliran Kakek terbahak sejenak.

Langkah  mereka akhirnya terhenti saat mata si Kakek masih awas menyadari lambaian tangan Maimunah dari balik pagar bambu. "Nah, Ibu kau sudah tunggu itu di depan rumah, lekas kau pulang dan jangan pernah malu kau dendangkan shalawat di hatimu Cu," pesan si Kakek lagi. Azmi mengangguk, kemudian mencium punggung tangan kanan mantan pemabuk kampung Mendayu yang kini hijrah dari kubu menyesatkan dulu.

Azmi melambaikan jemari mungilnya ke udara, senyumnya sontak membuat si Kakek tertimbun rasa bahagia. Hatinya berdecak kagum juga bangga, Azmi, anak tukang sol sepatu itu, ia hadir bagai pahlawan kecil berhati emas yang menjelma menghangatkan suasana. Jujur, sang Kakek amat terkesima saat lidah mungil Azmi yang pendek itu tetap berusaha melantukan shalawat, melantukan pujian beserta salam kerinduan yang tiada tara, untuk pria bergelar Al-Amin, untuk pria berhati mulia ciptaan Tuhan Semesta alam.

"Cu, terima kasih sudah sadarkan aku dari kelalaian kemarin," bulir air mata melintasi kedua pipi rentanya, Rasyid membuka pintur pagar rumahnya, berniat menikmati senja sembari berzikir di kebun jagungnya.

***

Selesai

#FlashFiction

Komentar