Bumi, Setelah 365 Hari


Lebih  dulu dari Indonesia, sebanyak 1,6 juta lebih penduduk Sidney, Australia menikmati rona pergantian tahun di kota mereka dengan penampilan  fireworks beraneka warna. Lewat situs  berita abc.net.au yang saya baca,  kota-kota di Negara bagian negeri Kangguru itu merayakan pergantian tahun lewat berbagai tema. Tak tanggung-tanggung, Sidney berani menggelontorkan dana lebih dari tujuh juta dolar demi euphoria setahun sekali itu. Tagar #HappyNewYear di halaman twitter pun menjadi trending dunia, timeline twitter tak putus dihiasi oleh beragam bidikan gambar momen tahun baru, yang  berhasil direkam dari jutaan gadget para penghuni bumi.


sumber gambar : fineartamerica.com

Inilah rona malam satu Januari  yang momennya tak pernah meleset dari agenda hidup manusia modern. Maraknya kembang api, euphoria semalam suntuk, well,  boleh dikatakan perayaan semalaman itu merupakan sinonim dari perilaku hedonis yang diminati sebagian besar manusia modern abad 21. Kilau cahaya buatan yang merebak di langit hitam bagai mantra yang praktis menyedot perhatian manusia untuk larut dalam pesta. Kata mereka, inilah malam tahun baru.

Lantas, jika dunia merasa normal dengan perhelatan akbar seperti itu, maka berbeda dengan Indonesia, tak bisa dipungkiri bahwa pro kontra perihal perayaan tahun baru di Indonesia menjadi perbincangan hangat, mulai dari pejabat tinggi hingga ibu rumah tangga (hehe). Untuk Dua tahun terakhir ini misalnya, pemerintah Aceh, khususnya pemerintah Kota Banda Aceh telah melarang pelaksanaan merayakan momen setahun sekali ini, dan dampaknya cukup keren bagi saya. 


sumber google.com


Dulu saat semester awal kuliah, saya sendiri pernah menyaksikan pergantian tahun baru dengan melihat kembang api yang menyeruak di langit Kutaradja, tidak semeriah kota besar, namun warga Banda tumpah ruah di jalan, macet, penuh keramaian, lalu selang beberapa jam suasana pun berganti sunyi, menyisakan tumpukan sampah di beberapa titik, lalu cahaya indah di langit lenyap menanti kedatangan mentari. Ya, kalau dikaji lagi, begitulah tahun baru yang momennya cuma sesaat dan lekas lekang. Saya rasa aturan baru dari pemerintah kota Banda Aceh patut diapresiasi, minimal sudah mengurangi emisi dari dampak kembang api yang tidak sehat untuk keberlangsungan oksigen di bumi. 

Sebenarnya jika ditelisik lebih dalam, yah kalau bahasa ilmiahnya dianalisis lebih detail, banyak dampak negatif dari fireworks nan cantik yang tumpah ruah di angkasa itu. Unsur senyawa kimia beragam jenis bersatu padu agar  mampu menciptakan ledakan, suara gelegar, dan kilau cahaya yang memanjakan mata manusia pada tubuh si kembang api. 

Tidak salah jika emisi bahan kimia itu banyak terjadi setelah pesta usai, bahkan tahun 2013 dulu, Pemerintah negeri Tiongkok mengimbau warganya agar tidak berlebihan menggunakan kembang api dalam perayaan tahun baru Imlek, alasan himbauan tersebut tak lain karena imbas dari pembakaran kembang api yang mampu menyumbang kadar polusi udara di kota kelahiran Jet Li itu. Well, China merupakan negara terpadat dunia yang ekonominya berkembang pesat begitu pun penggunaan energi fosil yang cukup tinggi. Wajar saja jika kembang api akan semakin memperkeruh oksigen segar yang ada di negeri itu.

Jika Kang Emil membatalkan pesta kembang api demi menaruh rasa empati pada duka AirAsia, lalu Ahok yang tetap melaksanakan pesta di Ibukota, tetaplah pilihan merayakan atau tidaknya tahun baru  semua kembali kepada tiap-tiap jiwa, sebab rayakan atau tidak merayakan, jika bumi masih berputar, tahun tetaplah berganti. Karena yang paling indah itu adalah saling menghormati, jangan saling cerca hanya karena problema tahun baru (semoga tidak ya :D ). Lagi-lagi, saya salut pada Banda Aceh, karena malam ini tidak terdengar bunyi letusan kembang api seperti tahun-tahun sebelumnya, malam yang tenang berselimut awan, dan bumi telah finish melakukan revolusi. Kini planet ini kembali menata langkah dari awal, kembali meniti hari demi hari untuk menggenapkan usianya menjadi 12 bulan. Oh Bumi, kau semakin menua.

Lalu tahun baru ngapain?

in sleep things are simpler, no regret over the past, no worry for the future, only the present and as bad as a dream gets, at least you get to sleep through it.
Jonathan Goldstein
inilah saatnya mewujudkan rencana yang mungkin tertunda di tahun sebelumnya, merayakan yang baru dengan semangat positif berbuat sesuatu yang baik. Kuatkan tali ikhtiar dalam diri, bahwa selain karena campur tangan Tuhan, sumber pokok lainnya  yang menentukan berhasil tidaknya seseorang adalah dirinya sendiri. Mari kita sambut tahun baru 2015 dengan bergelimang rasa syukur, dan semangat untuk berusaha keras serta tak pernah meninggalkan ritual berdoa pada Sang Pemiliki jagat raya. 


sumber : uninonfmc.blogspot.com





“Dan jika kamu (hendak) menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. A-Nahl: 18).
 
Aamiinn Ya Rabbal 'alaminn

Komentar

  1. Keren kak git, master kita ini emang selalu runut :)
    Nyo cap (y) :D

    BalasHapus

Posting Komentar