Pelita Di Bawah Langit Sekolahku

Waktu itu, ketika rezim Soeharto akhirnya takluk lewat restorasi mahasiswa era 1998. Sontak televisi di seluruh penjuru serempak mengabarkan kemerdekaan baru yang diraih para intelektual muda kala itu. Lantas, pedulikah saya tentang rezim Bapak pembangunan yang telah usai itu? Untuk seorang bocah tujuh tahun, kabar dinasti cendana runtuh jelas tidak bermagnet sama sekali dibanding dengan rasa dag dig dug saya yang akan menjadi siswa kelas 1 SD saat itu. Seragam sekolah merah putih menjadi sahabat karib menjelang masa-masa melelahkan selama enam tahun lamanya. Ya, Bunda bilang, saya harus giat belajar untuk meraih masa depan. Itu katanya.

Berevolusi dari siswa TK menuju siswa SD, bagi saya adalah masa transisi yang mampu menciptakan berbagai rasa dalam hati saya. Ada rasa senang, takut, sedih, was-was, gembira, dan rasa nano-nano lainnya yang lazim dipikirkan oleh calon siswa SD seperti saya. Hingga akhirnya, SDN 14 Lhokseumawe (saat ini bernama SDN 7 Lhokseumawe) menjadi sekolah kedua saya setelah lulus dari taman kanak-kanak. Beralamat di kelurahan Desa Lancang Garam, SDN 14 menawarkan cerita baru yang hingga kini masih setia menetap di memori.

Di bawah langit Lancang Garam, di sebuah sekolah sederhana, saya bertemu puluhan teman dari berbagai latar belakang. Bersama mereka, saya mengenal sosok-sosok hebat yang berhasil membuka ruang berpikir seorang siswa SD agar tidak takut bermimpi. Mereka adalah guru-guru kami, manusia luar biasa yang datang menawarkan cerita baru setiap pagi.


image sources by : google.com/images

***

Namanya Bu Mai, jujur saya lupa nama panjang beliau, namun jujur pula hingga kini jasa perempuan paruh baya itu masih membekas dalam benak. Ketika berada di kelas 1 SD dulu, Ibu Mai yang memprovokasi saya untuk rajin sikat gigi minimal dua kali sehari. Tak heran jika saban pagi, sebelum kelas dimulai, Bu Mai blusukan memeriksa satu-persatu gigi siswanya di kelas satu. 

“Nah, siapa yang belum gosok gigi pagi ini?” kira-kira begitulah kalimat pertamanya sebelum melangkah mendekati para siswanya. Bu Mai tidak segan mencium aroma mulut anak didiknya satu-persatu, mulai dari siswa bergigi putih kecokelatan, berlubang, sampai gigi yang tanggal atau ompong sekalipun.

Wanita berkacamata itu begitu apik membangun komunikasi aktif di kelas. Ia selalu menyediakan waktu bagi siswanya untuk bertanya, berbagi cerita, atau mengemukakan gagasan apa pun itu. Hal yang paling berkesan saat belajar dengan Ibu Mai ialah, ketika sesi perkenalan dengan teman sebangku, 14 tahun yang lalu. Bu Mai mewajibkan semua siswa di kelasnya untuk mengingat nama teman sebangku masing-masing. Bahkan jika ada yang lupa, Bu Mai tidak segan memberikan sanksi seperti menyuruh siswanya untuk melakukan dialog perkenalan dengan teman sebangku di depan kelas. Dan ternyata, jurus “mewajibkan” berkenalan dengan teman sebangku itu, memberi imbas yang berarti bagi pertemanan saya bersama Ita Ani Sara, partner saya di bangku kelas 1 dulu.

Kini, setiap lebaran, saya dan Ita sering bertemu untuk silaturahmi, bahkan kami sering tertawa geli ketika mengulang memori “berkenalan” ala anak SD zaman itu. Bayangkan saja, di hari pertama kenalan, saya sempat lupa nama Ita beberapa kali. Mungkin dialog di bawah ini dapat mendeskripsikan betapa virus “lupa” terkadang meradang di otak saya. Hehe..

                Anggi     : “Eh, siapa namanya tadi?”

                Ita           : “Ita, Nggi,”

                Anggi     : “Oh iya iya, Ita”

                Ita           : “Anggi, jangan lupa lagi nama aku ya,”

                Anggi     : ^____________^


image sources by : ariansahidi.blogspot.com
Jika Ibu Mai berhasil menyedot perhatian saya di kelas satu. Ibu Rose, wali kelas saya di kelas empat  juga  tak lekang oleh ingatan. Perempuan bertubuh tinggi ini terkadang susah ditebak suasana hatinya. Acap kali Ibu Rose bisa berubah marah jika siswa yang ia bimbing di kelas mulai gaduh. “Dimarahi berjamaah” menjadi makanan sehari-hari kami  jika Bu Rose mulai tak kuasa meredam gejolak emosinya.

Namun dibalik wajah berangnya, ada satu kenangan yang membuat saya lega menjadi bagian dari anak didiknya. Saya masih ingat, hari itu Bu Rose tersenyum senang ketika melihat siswanya berhasil menyanyikan lagu “Daerah Aceh” secara serempak. Suasana kelas jadi kian semarak, bahkan lagu tersebut berhasil diubah menjadi melodi yang indah lewat tuts-tuts pianika yang kami mainkan. Lewat pelajaran seni yang diajarkan Bu Rose, hingga kini saya tidak lupa bait lagu Lancang Kuning asal Provinsi Riau. Ya, Lancang kuning berlayar malam hai berlayar malam, haluan menuju, haluan menuju ke laut dalam...

Dulu, sederet tingkah konyol dan jenaka kami di kelas tentunya menjadi benalu bagi guru yang selalu mengedepankan kedisiplinan. Salah satunya Pak Alvian. Beliau sangat tegas melarang siswanya untuk ribut di kelas, bahkan berbicara saat ia tengah menjelaskan materi pelajaran. Pemandangan seperti siswa berdiri sebelah kaki di depan kelas menjadi pesona yang ditawarkan Pak Alvian bagi mereka yang melanggar aturan.

Meski terkesan galak, Pak Alvian adalah guru yang baik dan senantiasa senang dengan perubahan-perubahan kecil di kelasnya. Seperti melihat anak didiknya dapat mengingat vocabulary tentang atribut di dalam kelas, atau suasana kondusif yang berhasil kami ciptakan saat sesi mengerjakan latihan bahasa inggris bersama beliau. Darinya saya belajar tentang betapa pentingnya bahasa inggris sebagai penunjang karir seseorang agar berhasil di masa depan.

Lalu, kegiatan olahraga yang kami lalui di masa SD dulu juga tidak lepas dari peran pak Safri, guru olahraga yang saat itu masuk ke dalam kategori guru termuda di sekolah. Sikapnya yang santai dan sering diselingi gelak tawa, ternyata tidak mampu menutupi letupan emosinya yang terkadang mudah tersulut jika siswanya membangkang. Darinya kami belajar untuk paham tentang gunanya berlari-lari kecil dan senam sehat. Ya, meski setiap jam olahraga dimulai, kami tidak se-spesial dan se-mudah siswa SD seberang yang selalu menaiki bus sekolah menuju lapangan olahraga terkemuka di kota kami. Mau tak mau, lapangan olahraga milik warga sekitar menjadi alternatif, di sana kami bermain bola, badminton, dan juga kejar-kejaran. Sungguh momentum kala itu adalah peristiwa yang selalu dirindukan. Dan saya sadar, bahwa hanya memori kepala lah yang berhasil menyimpan agenda masa lalu itu. Kami tidak punya album foto yang bisa mengulang rasa bahagia berlari-lari kecil di atas tanah siang itu.

Jika di pelajaran olahraga kami punya sosok Pak Safri, di pelajaran Agama Islam saya terpukau oleh cerita sejarah islam yang dibawakan oleh Bu Rohani, guru Agama Islam di sekolah saya. Beliau ramah dan baik pada siswanya, bahkan tidak sungkan menjawab segala pertanyaan siswanya yang berkaitan dengan pelajarannya. Hanya saja, jika keributan yang tak mampu terbendung masih terjadi di kelas, perempuan berkacamata itu akan dengan spontan memukul permukaan meja sebagai "pertanda" untuk menghentikan keributan di kelas. Ya, meski sedikit galak, kebaikan hati Bu Rohani dalam membimbing siswanya paham akan agama islam adalah ilmu yang berharga bagi saya.

Hingga di akhir masa-masa SD, kami bertemu dan dibimbing oleh Bu Ningsih. Perempuan paruh baya yang wajahnya sedikit mirip dengan Ibu presiden ke lima Indonesia. Beliau adalah wali kelas saya di kelas enam. Setiap pelajaran yang ia ajarkan selalu diiringi dengan contoh. Hari itu kami belajar tentang letak demografis kota Jakarta di pelajaran IPS, saat itu juga Bu Ningsih dengan leluasa menjelaskan segelintir cerita tentang kota Jakarta pada kami. Ia mencoba membuat suasana kelas tidak padam, segala cerita baik itu pengalaman hidupnya atau pun dari kisah di televisi menjadi bahan komunikasi yang ia jalin bersama anak didiknya.

Bu Ningsih bagi saya bukan hanya seorang wali kelas semata, ia adalah sosok wanita yang sukses membuat saya jatuh cinta pada dunia sosial. Mata pelajaran IPS yang ia ajarkan saat itu ibarat jembatan yang perlahan menghubungkan saya ke dunia saya kini. I love social science untill now, dan hal itu berkat bantuan Bu Ningsih.

Namun seiring bergantinya tahun, perpisahan dengan guru-guru tersebut menjadi momen mengharukan yang membuat kami tak kuasa menahan air mata. Kenangan bersama seluruh guru-guru di SDN 14  senantiasa membekas di kepala. Bersyukur karena saya dan 40 lebih siswa SDN 14 hari itu, adalah orang-orang yang diizinkan Tuhan untuk bertemu dengan para guru sehebat Ibu Bapak sekalian. 

Jikalau kalian tidak ada, kami mungkin tidak akan pernah tahu tentang apa itu huruf abjad, lalu deretan angka satu hingga 100, hingga betapa pentingnya saling mengasihi antar teman di sekolah.  Kalian adalah putra-putri bangsa yang berhasil mendukung kami menentukan masa depan, membantu kami meluruskan mimpi, mengawal kami untuk tidak lupa berikhtiar.

Kalian adalah pelita dalam gelap yang tidak padam meski digoyangkan angin, seperti warna yang mencerahkan hari kami, seperti mentari yang menyapa kami setiap pagi, karena kalian adalah guru tanpa tanda jasa. Mengabdi untuk perubahan negeri, meski ketidaksempurnaan adalah hal yang tidak kalian sesali.

Wahai pahlawan tanpa tanda jasa, guru yang telah berupaya mengisi hari kami
Maaf untuk segala tingkah jahil dan kenakalan kami hari itu,
Maaf untuk datang terlambat, hingga berbohong pergi ke kantin sekolah di jam pelajaran berlangsung
Maaf untuk lupa mencium tanganmu ketika bel pulang berbunyi,
Maaf untuk kata-kata kami yang mungkin menyakitimu
Maaf untuk suasana gaduh yang kami ciptakan saat kelas masih pagi
Maaf untuk lupa mengunjungimu saat kami telah tumbuh dewasa seperti ini


image sources by : google.com/images
Wahai pahlawan pelipur lara, guru yang selalu mencintai kami
Terima kasih untuk waktu yang engkau beri pada kami
Terima kasih untuk tidak membenci kami saat amarahmu membuncah
Terima kasih untuk tidak berhenti membantu kami menyusun tangga impian kami
Terima kasih untuk tidak lelah mengajak kami tersenyum
Terima kasih untuk senantiasa mengingatkan kami tentang bersyukur
Terima kasih untuk segala hal yang engkau lakukan demi masa depan kami

Selamat hari guru untuk kalian para pelipur bangsa
Jasa kalian selalu terkenang, menetap di benak, bahkan tak mau pergi meski raga telah menua.
Terima kasih Guruku ^_^
~Anggita RA.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terima kasih untuk para guru yang telah mengajarkan kita menyambung
huruf menjadi kata, dari kata menjadi kalimat, dan yang telah mengajarkan kita menambahkan angka-angka menjadi hasil
Semua yang telah diajarkan menjadikan kita lebih baik
 di jenjang pendidikan setelah SD, terima kasih guruku..  
~ Eka Yana Putra (Alumni SDN 07 era 1998-2004)~

To the world, you may just a teacher. But to your student you are a star
~Muhammad Ilham (Alumni SDN 07 era 1998-2004)~





Komentar