Saat Harus Meninggalkan Banda

Usianya akan genab 60 tahun pada Mei 2014 nanti, ia lahir di Indrapuri Aceh Besar tahun 1954. Banyak hal yang berhasil pria ini wujudkan untuk memberdayakan Banda Aceh. Di bawah mandatnya, Banda Aceh mendapat tiga kali piala adipura, sebuah penghargaan lingkungan hidup untuk kota yang ada di Indonesia berdasarkan kebersihan, keteduhan, dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance.  Tahun 2012 lalu, Banda Aceh masuk dalam kategori kota sedang (dengan populasi penduduk 100.001-500.000 jiwa) dalam meraih piala adipura.  

Foto : Antara/ Ujang Zaelani, dikutip dari nasional.news.viva.co.id
Hebatnya lagi, pria bergolongan darah O itu mampu meyakinkan lebih dari 197 peserta dalam forum Debat Interaktif yang dilaksanakan PBB di New York, Februari 2011 silam. Hasilnya, Banda Aceh terpilih sebagai model city untuk disaster risk reduction oleh PBB atas keberhasilan melaksanakan proses rehabilitasi dan juga rekonstruksi pasca tsunami 2004.

Pria nan paling berjasa untuk kota Banda Aceh itu, tak lain bernama Mawardy Nurdin. Nama yang membuat saya bergetar tatkala pukul 8 malam tadi, 8 Februari 2014, kabar duka itu mampir secara tiba-tiba. Di rumah sakit Zainal Abidin Banda Aceh, sekitar pukul 19.30 WIB, sosok paling berpengaruh terhadap perubahan Banda Aceh itu telah pergi. Menghadap Sang Pencipta, meninggalkan kota yang terus saja berbenah ini.

Banyak bingkai cerita yang mengenang di benak siapa saja yang tahu bagaimana perjuangan seorang leader seperti Mawardy, dalam memimpin Banda Aceh sejak tahun 2007 hingga kini. Dua kali menjabat sebagai walikota Banda Aceh, tak membuat niatnya surut untuk gencar membenahi kota. Menebar semangat kota Madani sebagai marwah  kota Banda Aceh, dan gencar menggembar-gemborkan program diniah, sebagai upaya menuntun generasi muda yang islami dan mampu mengokohkan pondasi iman dari segala pendangkalan akidah yang marak terjadi dewasa ini.

Saya teringat celoteh beliau di rubrik ‘Pelesir’ dalam majalah ACEHKINI edisi khusus 3 tahun damai Aceh. Dalam rubrik itu, Bapak Walikota ini membagi sepotong kisahnya saat pergi ke Paris. Ia terkesima mengagumi tepian sungai Rhien, sungai yang melintasi sedikitnya 10 negara Eropa. Pemandangan eksotis akan terpancar tatkala wajah Rhien teduh di waktu malam. Mawardy menyukai saat-saat lampu di café dan taman-taman di pinggiran sungai beradu cahaya. Pinggir sungai yang bertabur pasir namun bukan sebuah pantai. Rhien memberi ruang pikirnya bekerja. “Saat menjadi PJ Walikota saya sudah berniat ingin menjadikan Banda Aceh Water City seperti Paris,” ungkapnya dalam rubrik tersebut.

Krueng Aceh. sumber gambar :bisnisaceh.com
Ia berkaca pada kondisi krueng Aceh. Saat itu ia bertutur ingin mewujudkan Krueng Aceh bak sungai Rhien yang membelah Paris. Kini, cita-cita itu perlahan kian terlihat manifestasinya. Krueng Aceh kini elok dibangun dengan dilengkapi beberapa taman dengan area jogging track di pinggirannya. Bahkan niatnya untuk merealisasikan restoran terapung di kawasan Krueng Aceh patut di dukung. Kapan lagi Banda Aceh punya wisata kuliner unik di atas air.  Sekian milyar pun menjadi dana yang tak main-main untuk menyulap Krueng Aceh bagai Rhien, sungai yang membuat sang Walikota jatuh hati.

Pria Jebolan ITB Bandung ini, cukup menarik untuk diulas perjalanan karirnya mengubah asa menjadi mimpi yang nyata. Berangkat dari dunia dagang, Mawardy kecil sudah terbiasa berjualan. Di kota Sigli, ia menjalani masa-masa kecilnya yang berharga. Bermodal memanjat pohon jambu, lalu menyulap jambu-jambu tersebut serupa tusukan sate, dan kemudian menjualnya. Siapa sangka pria yang bergelut dengan dunia dagang jambu itu menjadi orang nomor satu di Banda Aceh. Menjadi pelopor perubahan Banda Aceh setelah diporak-porandakan tsunami. 

Semoga mandatnya dapat terus dilanjutkan Ibu wakil walikota Illiza Sa'aduddin Djamal untuk meneruskan perjuangan beliau. Kematian tak ada yang tahu, namun ia hadir sebagai suatu realita yang tak bisa dielak manusia. Semoga kepergian bapak paling berjasa untuk Banda Aceh ini tidak membuat rakyatnya ciut untuk melangkah. Sebagai pemimpin dengan segala kelebihan dan kekurangan,  ia mencoba membangun kota Madani untuk Banda Aceh. Mempersilahkan semua pihak untuk ikut andil dan menjaga toleransi.  

Intinya kita ingin mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, menjalankan syariat menurut agama masing-masing, taat hukum, penuh toleran. Masyarakat juga punya akses kepada pemerintahan, mengontrol, ikut membicarakan pembangunannya, ikut terlibat dalam pengawasan, dan sebagainya.” (Sumber atjehpost.com)

Dua tahun lalu, saya melihat beliau menabuh rapa’i saat menyambut detik detik pemadaman listrik, dalam malam Earth Hours yang berlangsung di balai kota Banda Aceh. Ia membuka agenda yang diikuti banyak remaja itu sebagai wujud apresiasinya. Mawardy Nurdin hadir dan duduk lesehan bersama dengan remaja yang lain. Berbaur dan membuka dialog menyambut positif tentang semangat kaum muda malam itu. 

Selamat jalan bapak walikota, farewell for our kindly Mayor. You are the truly optimistic as Mayor in Banda Aceh city . Hope Allah always with you. Aminnnnn..

Banda Aceh, 9 Februari 2014

@anggitaRAmalia 

Komentar

  1. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun :(
    Selamat jalan, bapak. Allahummaghfirlahu warhamhu..
    Kak, tulisannya keren, menggetarkan. Ijin share ya, kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Innalillahi wa inna ilahi raji'unn T_T
      iya dek, silahkan jika ingin di share,
      sungguh kepergian beliau menjadi duka, semoga cepat
      berkesudahan..mari kita berbenah ^_^

      Hapus

Posting Komentar