A Walk To Remember, My Bittersweet 2013

Meski saya tak rajin menulis berbagai kisah hidup dalam buku diary (hehe), namun beberapa kisah yang selama ini saya alami sepanjang tahun 2013 tetap mengenang dalam kepala. 2014 kini mulai merangkak perlahan-lahan, kenangan di tahun 2013 tetaplah menjadi bagian dari cerita kehidupan yang setiap harinya memiliki warna tersendiri. My bittersweet 2013, kisah pahit getir yang saya jalani di umur yang tak lagi belia. Saya mencoba menulis beberapa kisah itu di blog saya ini, mencoba bernostalgia sejenak tentang hari-hari bersejarah itu. I try to write the last story from the last day. Here we go from the first moment..

*A Book To Remember, my first salary

Rentetan buku dari pengarang famous tanah air berjejer rapi di rak-rak berwarna coklat.  Susunan buku beragam warna itu  benar-benar mencuri perhatian mata. Mulai dari novel romance, remaja, true story, best seller, hingga biografi orang ternama. 

Saya sempat berpikir lama hanya untuk menimbang-nimbang  buku apa yang akan saya beli nanti. Dua kali saya lirik novel “Ranah 3 Warna” karya Ahmad Fuadi di rak paling sudut, mencoba meyakinkan diri bahwa novel best seller itu layak untuk saya jadikan koleksi buku. 

Perang pemikiran pun terjadi, (haha), saya mencoba yakin dan tidak skeptis dengan pilihan saya setelah sempat terkecoh dengan buku Biografi dan memoar “Habibie dan Ainun” di rak yang satunya lagi. Then you must to decide your way, dan saya memutuskan untuk membeli “Ranah 3 Warna”. (applause deh :D )


ranah 3 warna (dok.pribadi)
Ranah 3 Warna merupakan buku “ter-istimewa, ter-berharga, ter-spesial, ter-cinta, ter-sayang” bagi saya. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan. Tapi saya akui buku tersebut amat penting dan punya nilai history yang tinggi dalam sejarah hidup saya selama 21 tahun umur saya kini, (Terima kasih ya Allah SWT)
Selain karena “ter-istimewa, ter-berharga, ter-spesial, ter-cinta, ter-sayang”, saya membeli “Ranah 3 Warna” sebagai manifestasi untuk menyambung kembali cerita berkelana “Alif” (pemeran utama novel Negeri 5 Menara) yang berhasil lulus dari pasantren Gontor dengan semangat 45-nya.

Well,  julukan “ter-istimewa, ter-berharga, ter-spesial, ter-cinta, ter-sayang” yang saya sematkan pada novel “Ranah 3 Warna” sebenarnya berawal dari proses pembelian novel itu sendiri. Meski pun kedengaran eksesif, tapi hari itu memang hari ke tujuh setelah saya gajian. (curhatt :D)

Selasa, 8 Januari 2013, saya hunting ke salah satu perpustakaan ternama di Banda Aceh, membelanjakan gaji pertama saya sebagai seorang guru privat siswa SD/SMP. Sejak akhir Desember 2012, saya mulai mengajar privat dengan mendatangi rumah murid-murid saya ( try to be good teacher :D).

Inilah pengalaman perdana yang membuat saya berdebar di hari-hari awal mengajar. Bermodal ilmu pengetahuan yang saya pelajari semasa sekolah, saya mencoba untuk menjadi pengajar  yang baik bagi adik-adik yang saya didik waktu itu.

Inilah cikal bakal mengapa saya menjuluki novel “Ranah 3 Warna” memiliki nama super eksesif. Selain karena senang bisa membeli buku untuk pertama kalinya dari hasil jerih payah sendiri, saya merasa begitu terharu.  (hehe)
Bagaimanapun tingginya impian dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat yang hati yang kukuh dan sabar. - Ahmad Fuadi - di puncalk Saint Raimond-Kanada)

*A moment to remember, Be an Editor In Chief

17 Januari 2013, saat itu mentari mulai bergeser perlahan ke Barat. Ada perasaan merinding, suka, duka, khawatir, kalut, yakin, senang, diam, bimbang, galau,dan pada akhirnya berhasil menerbitkan senyuman tatkala nama saya disebut sebagai orang pemegang kendali nomor wahid di roda keredaksian UKM Pers DETaK Unsyiah periode 2013. 

Sejak 2010, saya sudah mulai bergabung di UKM pers DETaK yang tak lain merupakan Lembaga Pers Mahasiswa di Unsyiah. Berawal menjadi wartawan magang, lalu menjadi wartawan DETaK, hingga di tahun berikutnya mendapat kepercayaan menjadi sekretaris bagian usaha di DETaK.

Tepuk tangan rekan-rekan yang hari itu dilantik jadi pengurus periode 2013 tak terelakkan. Tugas yang saya emban setahun ke depan semakin memperkalut benak saya. Di satu sisi merasa “belum cukup siap”, namun di sisi lain mengatakan “wajib siap”. Baiklah, untuk pertama kalinya saya dipercayakan oleh teman-teman UKM Pers DETaK menjadi pimpinan redaksi atau bahasa elegannya “Editor In Chief” selama setahun ke depan.

narsis dulu..hehe (foto by : Nurhamidah/DETaK)

Ragam cerita mewarnai kisah saya dan juga para redaktur di bagian redaksi DETaK. Mulai dari frekuensi jam tidur yang sedikit (berkisar 4-5 jam tidur setiap malamnya, bahkan pernah tidur dari jam 3 Pagi :o), waktu belajar yang terkadang terhambat (lantaran selalu bekerja “mengedit” berita untuk portal web DETaK), pernah jatuh sakit karena kelelahan (waktu itu sakit demam disertai flu, begitu juga “Kak Lusi” (redaktur) yang juga ikut sakit di hari yang berbeda :D ), pernah buat rapat redaksi online via chat facebook (sangking hebatnya teknologi), lupa waktu makan (tapi gak lupa sholat kok ^^) , pernah mewek tengah malam karena kuota modem habis dan gak bisa posting berita, pernah mewek juga lewat tengah malam karena laptop macet dan tiba-tiba keluar blue screen yang bikin saya hampir nangis darah.

Actually, masih banyak lagi ragam cerita yang mewarnai perjalanan saya dan juga para redaktur. Bahkan saat proses penerbitan tabloid DETaK edisi 34, terdapat beberapa tulisan yang harus di-edit ulang agar menghasilkan tulisan yang berkualitas. Hari-hari nan penat itu kami jalani dengan penuh suka cita. Dan Alhamdulillah tabloid terbit juga di bulan Juni 2013. (It’s because of our spirit, thanks Crew DETaK ^^)

Seiring dengan tanggung jawab yang saya pangku di keredaksian, saya pun memutuskan untuk hengkang sejenak dari kegiatan mengajar privat demi lancarnya kegiatan redaksi setahun ke depan. In some moment, we must to decide for one thing to do. Meski terasa berat, namun niat untuk bisa fokus di redaksi menjadi alasan utama saya untuk mundur sejenak. (i am missing them again) 

*Birthday to remember, I am 21 years old

Berbagai ucapan selamat silih berganti nangkring di dinding akun facebook saya, doa-doa yang mereka hantarkan benar-benar membuat saya terharu. Tidak menyangka 10 Februari 2013 hadir lagi, Allah kembali mempertemukan saya dengan umur baru, dialah usia 21. 

Harapan baru yang terus mencuat dalam diri saya, membenahi diri, berusaha keras untuk menggapai cita, lalu impian untuk membahagiakan orang tua. Saya berdoa untuk kesehatan yang selalu terjaga di usia seperempat abad ini. 

Meski tidak berada di tengah-tengah keluarga, teman-teman saya ternyata punya aksi sederhana untuk merayakan ultah saya itu. Kami menyantap roti bakar yang masih hangat bersama-sama, bahkan saya tidak menduga bakal mendapat hadiah “rok” bermotif bunga dari mereka. (Thank you all ^^)


*A tour to remember, Medan Horas

Perjalanan 3 hari dua malam yang super singkat, namun padat kesan. Awalnya tur pendek ini digagas oleh dosen mata kuliah fotografi, Ibu Saniah.  Ide tersebut akhirnya di-aminkan oleh penduduk kelas Komunikasi 02 yang berjumlah 50-an itu. Walau beberapa orang tidak ikut karena alasan yang urgent, perjalanan pun tetap dilaksanakan jua. Tujuan kami adalah kota Medan, di sana Ibu Saniah mengajak kami bertamu ke beberapa media lokal di Medan, seperti Deli TV, Sumut Pos, hingga temu ramah dengan teman-teman UKM Potret, sebuah UKM Fotografi yang ada di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) Medan.  


gaya paling absurd di depan pagoda (dok.pribadi)
foto bareng kelas komunikasi 02 (dok.kom 2)

Destiny terakhir sebelum kembali ke Banda Aceh ialah mengunjungi Kota Berastagi. Di sana kami berkunjung ke Replika Pagoda Shwedagon yang dibangun di tanah seluas tiga hektar di Taman Alam Lumbini, sekitar 50 km dari kota Medan. Stupa berwarna emas itu memiliki panjang 69 meter dengan tinggi 46,8 meter. Pagoda tersebut merupakan tempat peribadatan umat Buddha terbesar di Medan yang menjadi objek wisata menarik di kota Berastagi. ^^

*An Experience to remember, I am volunteer

Survei tempat, kondisikan anggaran, diskusi ber-enam, susun program kerja, sesuaikan jadwal, mendengar arahan sebelum bertindak, hingga terakhir, berdoa. Kami sudah melakukan yang terbaik yang kami mampu. Yeah, we are six person, we are team, we are volunteer. ^^

Desa Lampaseh Krueng, Montasik adalah tempat saya, Uci, Ayi, Jida, Zaki, dan Fasmitra menunaikan tugas mulia sebagai sukarelawan atau bahasa kece-nya “volunteer” dengan masa kerja diberlakukan sejak 25 Juni hingga 24 Juli 2013. Sebulan menjalani rutinitas super baru, di sana kami menjadi pengajar untuk puluhan murid dari tingkat SD hingga SMP yang ada di desa tersebut. Untuk mencari murid yang lumayan ramai itu tidaklah gampang, kami harus melakukan sosialisasi door to door untuk mengajak anak-anak yang ingin bergabung.

Kelas  “belajar bersama” itu kami buka setiap pukul 2 siang hingga menjelang ashar di sebuah gedung PKK yang tidak terpakai lagi di desa Lampaseh Krueng.  Pertemuan belajar bersama itu berlangsung 4 kali dalam seminggu. Bahkan saking rajinnya, anak-anak tersebut sampai minta jam tambahan ngajar.

Selain membuat kelas belajar bersama, kami juga mendatangi salah satu SMP yang ada di daerah Montasik. Di sana kami menjadi tenaga pengajar sukarela yang menemani hari-hari siswa/I kelas 1 selama 3 hari berturut-turut.

Inilah Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang menjadi mata kuliah wajib kami untuk mengabdi pada masyarakat. Di sana kami melakukan kegiatan bersama dengan warga setempat, seperti gotong royong, membuat bubur bersama Ibu-Ibu, shalat terawih berjamaah dengan warga, dan yang lebih membuat saya dan teman-teman terharu, di hari penghujung masa KKN, kami dan anak-anak melakukan buka puasa bersama. Semua makanan yang tersedia hari itu adalah hasil masakan ala sendiri. (Hehe) Ada mie caluk, agar-agar, dan juga es semangka.

KKN family... (dok.Zaki)

Uniknya, ada rentetan kisah yang membuat saya kecewa berat hari itu. Ya, tiga malam sebelum hari buka puasa bersama,  saya begadang hanya untuk membuat video kumpulan aksi anak-anak saat belajar bersama kami selama hampir sebulan. Video berdurasi 8 menit tersebut akhirnya rampung dan saya berniat mempertontonkan pada anak-anak saat bedug magrib belum bersuara.

Seharian, saya dan Zaki mencari bantuan proyektor di kantor camat Montasik. Hingga akhirnya sebuah LSM di sekitar kantor camat memberi kami pinjaman proyektor. Alhamdulillah, dengan senang hati saya dan Zaki membawa pulang proyektor tersebut ke rumah.

Tiba di sore hari nan cerah itu, tak disangka akan terjadi insiden bin pilu yang membuat hati saya serasa kacau, remuk, hancur, berkeping-keping, lalu pecahkan saja gelasnya biar ramai (mulai ngawur.. )

Saat konektor proyektor telah bersatu dengan port di laptop, awalnya hati saya berbunga-bunga hendak menyaksikan video yang sudah digarap mati-matian itu. Namun, Tuhan berkata lain, huhu…arus listrik yang super minim tidak memungkinkan untuk menyuplai energi ke tubuh proyektor yang setengah mati dicari itu. Oh Tuhan….saat itu juga saya terduduk lemas lalu dipandang aneh sama anak-anak, “Kakak kenapa?” Tanya mereka polos. Rasanya ingin nangis sejadi-jadinya. T_T
Alhasil, dengan laptop milik Uci, video pun diputar. Laptop didudukkan di sebuah meja dan anak-anak mengitari meja tersebut dengan pandangan penuh penasaran. Syukurlah sebuah sound system membantu memperjelas audio meskipun tampilan visualnya jauh dari cita-cita saya.  Well, meski super duper kecewa tapi hari itu adalah hari terbaik dan ter-spesial untuk kami semua. Di hari itu, kami membagikan hadiah untuk pemenang baca puisi, lomba berhitung, dan juga lomba-lomba lainnya yang sengaja kami buat untuk memacu semangat belajar adik-adik Lampaseh Krueng.


*A day to Remember, I Wanna Be The Writer

Awalnya iseng dan tiba-tiba jadi punya hasrat yang tinggi untuk ikut ajang nulis ini. Temanya “Kejutan Sebelum Ramadhan”, sebuah project  menulis yang diprakarsai nulisbuku.com menjelang puasa ramadhan 1434 H. Hari itu, 13 Juli 2013, di malam Sabtu nan gemerlap dengan bintang, perasaan saya mulai berkecamuk menanti pengumuman yang sesaat lagi akan terbit. Saat membuka laman pengumuman “200 cerpen terbaik” untuk project tersebut, saya mulai khawatir dan tiba-tiba jadi tidak berani melihat pengumuman (berasa keringat dingin :D)

Setelah dua kali fokus memperhatikan satu-persatu nama yang tertera, hati saya tiba-tiba melonjak girang tatkala melihat ada judul “No Farewell, Papa- Anggita Rezki Amelia” nangkring di buku nomor urut 13. Well, I am so happy and grateful to Allah.

ini dia kover bukunya (dok.nulibuku.com)

Tak percaya, namun semua itu nyata. Saat-saat mengharukan itu terjadi ketika saya masih KKN di Desa Lampaseh Krueng, Montasik pertengahan Juli-Agustus 2013. Meski disibukkan oleh kegiatan KKN, saya mencoba untuk survive menulis meskipun hanya berupa cerpen. Alhamdulillah akhirnya bisa lolos dan bangga sama hasil kerja keras ini. (Yippiii….)
(ini dia Pengumuman pemenangnya)


Sekilas tentang cerita “No Farewell Papa”, cerita ini memang fiksi dan saya garap dari hasil imajinasi saya sendiri. Kisahnya tentang seorang gadis 20 tahun yang kuliah di Oxford University karena dorongan semangat dari  Ayah tirinya. Seila adalah gadis yang memiliki Ibu  super sibuk, Ibunya bekerja sebagai editor suatu perusahaan penerbitan. Seila menuduh Ibunya, Ratna bukanlah Ibu kandungnya. 

Cerita terkuak saat pembaca sekalian mulai menelusuri paragraf-paragraf akhir, dimana Seila akhirnya tahu mengapa Ibunya terlihat tak acuh terhadapnya, bahkan mengapa Ia memiliki seorang Ayah tiri. It’s tell about the history about her life, seorang gadis yang tumbuh tanpa kasih sayang ayah kandungnya. Mungkin terkesan gimana-gimana gitu ya ceritanya, tapi inilah hasil imajinasi yang berhasil saya rangkai di tempat KKN. But, yes, I wanna be the writer, I do my best, Kalau penasaran dengan ceritanya, mari order bukunya di nulisbuku.com  :D 

-Family time to Remember, My Brother Come Back

Saat mobil jenis L-300 berhenti tepat di depan rumah yang dibangun era-90 an itu, seorang pria jangkung berambut gondrong segera menyambut koper yang baru saja dikeluarkan dari dalam mobil. Pria yang sudah hampir setahun lebih meninggalkan rumah,hari itu kembali.

Ia menyalami tangan saya, “benar-benar berubah ini anak,” decak saya dalam hati. Bagaimana tidak, saya excited melihat postur tubuhnya yang kian meninggi, berbadan kurus, berjanggut halus, dan gelombang rambut keriwilnya yang menjadi daya tarik, sekaligus bikin Bunda kejang-kejang lihat anak laki-laki-nya “berambut gondrong”. 

Well, Rudi adalah adik saya yang tengah merantau ke Ibu kota untuk menimba ilmu di dunia kesastraan. Ya, agak ekstrim sih, karena yang ia tekuni disana buka sastra nusantara tapi sastra Inggris. (Terrrr…)

comot gambar ini dari fb beliau..gomenasai brother (dok.fb Rudi)

Kalau dari segi urutan anak ke berapa, Rudi anak nomor dua dari empat bersaudara. Pokoknya saya jadi kapten deh. Selaku anak nomor satu, saya menjadi wakil kedua orang tua untuk diberi alih tanggungjawab kalau sewaktu-waktu Rudi butuh wejangan (Berasa jadi orangtua :D)

Hari itu pertengahan bulan Agustus, seminggu menjelang lebaran Idul Fitri 1434 H, saya pulang ke Lhokseumawe setelah enam bulan tidak pulang-pulang (Kak Toyib :D). Alhasil, suasana rumah kian ramai dengan kehadiran Rudi yang juga pulang kampung. Nuansa buka puasa bareng-bareng Rudi, Romi, Zuhra, Bunda, dan Bapak di rumah jadi semakin komplit, lengkap sudah harmonisasinya.

Jujur saja, berkumpul bersama seperti waktu itu sungguh menyulap hidup saya jadi tidak kesepian. Tertawa bersama, jahilin satu sama lain, nostalgia masa-masa kecil yang sukar dilupakan, bahkan pernah jadi paparazzi sambil bawa-bawa kamera ponsel hanya untuk merekam aksi Bunda kalau lagi ngidupin vespa antiknya untuk dibawa ke pasar. (Greng..greng..greng..)


I can’t to standing here without my family, they are the one, and really understanding me J

*A Week To Remember, Was In Bali

Suara mesin yang memekakkan telinga itu tak terdengar lagi. Jam digital di layar ponsel  tepat menunjukkan pukul 22.00 WITA, amat berbeda dengan posisi jarum jam tangan saya yang masih menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ratusan manusia berjalan perlahan-lahan menyusuri tangga, sang pramugari tersenyum manis mengucap salam perpisahan. Usai menginjakkan kaki di darat, tampak sebuah bis berdiri, bersiap membawa kami menuju pintu kedatangan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali.

Bersama redaktur berita DETaK, Kak Lusi, kami berdua mengerek koper masing-masing menuju pintu keluar bandara. Perjalanan yang melelahkan, pukul 13.00 WIB, kami berangkat dari Bandara Sultan Iskandar muda Banda Aceh menuju Soekarno Hatta, lalu kemudian terbang menuju Bali.

Well, suasana Jakarta pada  Sabtu sore, 13 September 2013 lumayan cerah. Ini pengalaman pertama bagi kami berdua untuk  bisa  menginjakkan kaki di ibukota Indonesia.(walau gak sempat jalan-jalan, Cuma transit doang..hehe)


bersama Kak Lusi, kami mengarungi Bali..hehe (dok.pribadi)

Bandara Soetta begitu nyaman, bersih, dan memiliki beberapa area food court yang menarik, meski harganya sedikit melambung karena faktor biaya pajak itu tadi. (hehe..) Saya dan Kak Lusi sangat menikmati momen sekedar lewat ini.

Ada kisah unik saat hendak sholat magrib di bandara Soetta, waktu itu hampir pukul 6 petang. Kebetulan saya tengah menstruasi sehingga tidak diperbolehkan sholat. Alhasil, saya menemani Kak Lusi untuk sholat magrib di musolla di area terminal keberangkatan. Usai berwudhu dan hendak memakai mukena, suara pemberitahuan keberangkatan pesawat bergema, menciptakan kepanikan antara kami berdua lantaran tak ingin ketinggalan pesawat.  Dengan gerak tergesa kami berlari menuju pintu pemeriksaan tiket.

Di dalam pesawat, Kak Lusi mulai melaksanakan sholat Magrib. Entah mengapa saya merasa tidak yakin dengan kursi yang dipilih Kak Lusi, saya cek ulang nomor bangku yang tertera di tiket dengan nomor urut bangku yang tengah kami duduki. Ya, ada kesalahan ternyata dan saya baru menyadari hal itu (Hehe..saat itu Kak Lusi masih kusyuk sholatnya).

Selang semenit, seorang pramugrari berparas ayu menyapa saya, lalu memberitahukan kesalahan nomor bangku yang kami duduk. Di belakangnya berdiri dua orang bule (berambut pirang, ikal, tinggi dan kekar,) yang ternyata adalah penumpang yang seharusnya duduk di bangku yang salah kaprah itu. (Haha..kami khilaf :D). Well, after prayers, dengan ramah tamah dan baik hati pramugari itu membantu memindahkan tas kami ke kursi nomor 16-17 di urutan depan. It’s funny moment :D

After 2 hours later, impian untuk mendarat pertama kalinya di pulau dewata akhirnya terwujud. Terlihat dari balik jendela, pesawat  Batik Air yang kami tumpangi seolah-olah tengah landing di atas permukaan laut Kuta. Benar-benar nuansa bandara yang berbeda dengan Soetta, Bandara Internasional Ngurah Rai Bali memberikan sensasi bak mendarat di atas air biru. (Keren deh).

Dan inilah Bali yang namanya dikenal hampir di seluruh dunia. Pulau yang sarat nuansa hindu dengan bangunan pura yang begitu klasik, it’s beautiful. Keberadaan kami berdua di Bali juga bukan semata-mata karena ingin berwisata di pulau dewata. Selama seminggu, saya dan Kak Lusi menjadi delegasi dari UKM Pers DETaK sebagai peserta kegiatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut  Nasional (PJTLN) yang diadakan LPM Akademika, Universitas Udayana, Bali.

Disana kami bertemu teman-teman pers kampus dari berbagai daerah. Mulai dari Medan, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Makassar, hingga Pontianak.  Di sana kami belajar banyak hal tentang jurnalisme investigasi. Pemateri yang kami temui juga orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Seperti Andreas Harsono yang terkenal dengan jurnalisme sastra-nya, lalu  Metta Dharmasaputra, penulis buku “Saksi Kunci” yang menguak tentang skandal pajak terbesar di Indonesia.

Incredible moment, pengalaman berharga tersebut benar-benar membuat kami berdua tidak kecewa untuk bisa bertandang ke Bali, menemukan banyak hal baru, teman baru, dan juga tempat wisata baru. Ya, after PJTLN, Jum’at 20 September 2013, panitia mengajak semua peserta untuk ikut tur mengelilingi beberapa lokasi wisata di Bali.

Ini dia yang kami tunggu-tunggu, (hehe). Tempat pertama yang kami kunjungi ialah Bajra Sandhi, sebuah monumen tentang perjuangan rakyat Bali yang berada di tengah kota Denpasar. Bajra Sandhi begitu klasik dan sangat berkelas seni sekali. nggak rugi deh bisa main-main ke sana. (hehe). 

Setelah dua jam berada di Bajra Sandhi, bus pun berangkat ke destiny kedua. It's shopping time. Kami  berkunjung ke Erlangga 2, sebuah pusat perbelanjaan ternama di Bali yang menjual berbagai oleh-oleh khas Bali. Mulai dari sarung Bali, kue pai khas Bali, gantungan kunci, hingga baju barong Bali. Jangan heran kalau mata saya jadi kelilipan melihat aneka oleh-oleh yang rasanya mau diborong semua. (tiba-tiba ingat isi dompet,hehe )

After Erlangga, we go to Kuta beach. Pantai yang dipenuhi ratusan atau mungkin ribuan manusia yang hilir mudik. Ya, banyak dari pengunjung pantai ialah wisatawan asing yang rela berjemur diri di terik matahari sembari mengagumi pantai tersebut. Hotel-hotel berbintang juga banyak bertebaran di sepanjang kawasan Kuta.  Tapi kalau bicara soal pendapat pribadi, saya jauh lebih suka pantai Lampuuk, Aceh Besar yang begitu cantik dengan sentuhan warna laut yang biru, lalu bersanding dengan gunung-gunung di sekitarnya. Sebelum sampai ke pantai Kuta, bus yang kami tumpangi saat itu sempat melewati area monumen Bom Bali yang sangat fenomenal. Disana terukir nama-nama korban yang meninggal akibat peristiwa tersebut.


Foto bersama di depan Bajra Sandhi (dok. Kiki)

Next, Usai mengelilingi Kuta, tempat terakhir yang kami singgahi ialah Graha Wisnu Kencana (GWK). Inilah taman wisata yang letaknya di selatan kota Denpasar Bali. Di kawasan tersebut akan didirikan maskot Bali, yaitu dibangunnya patung raksasa Dewa Wisnu yang tengah menunggangi tunggangannya, Garuda dengan ketinggian 12 meter. Hingga kini patung Dewa Wisnu masih belum lengkap, terlihat dari kedua tangannya yang masih buntung (karena proses pembangunan patung yang belum selesai).

Menjelang petang, kami menyaksikan tarian kecak yang menjadi tarian khas masyarakat Bali. Hari itu penonton di tribun lebih didominasi oleh kehadiran kami semua (baik dari panitia, maupun peserta PJTLN).  Perjalanan seharian itu cukup melelahkan,menyenangkan, dan mengesankan. Sekitar pukul 11 malam, kami pun tiba di sekret LPM Akademika untuk beristirahat.

Berkaca dari perjalanan seminggu ke Bali, saya akui tidak mudah rintangan yang saya dan Kak Lusi lalui sejak proses mencari dana keberangkatan, hingga pemesanan tiket pesawat. Kami berdua mengusulkan proposal ke Biro Unsyiah terkait kegiatan tersebut, namun bantuan yang diberikan juga tidak sepenuhnya mencukupi untuk dana keberangkatan.

Tanpa mematahkan semangat, dukungan kedua orang tua saya dan Kak Lusi menjadi pemicu semangat kami berdua. Walau beberapa kali kami kehilangan kesempatan memesan tiket murah, hingga pada akhirnya Kak Lusi menemukan harga tiket terjangkau untuk keberangkatan pulang pergi, Banda Aceh-Bali. Alhamdulillah, dalam posisi serba sulit, seorang kerabat karib Kak Lusi yang bekerja di sebuah perusahaan travel memberikan harga terjangkau untuk tiket yang kami pesan. (It’s miracle, and we are both so grateful to Allah)

*A great assembly to remember, stop being the editor in chief

Saatnya menyerahkan posisi kepengurusan UKM Pers DETaK periode 2013  kepada anggota Muda untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan ke depan. Hari itu, 21 Desember 2013, bertempat di Neuheun Aceh Besar, Kami keluarga besar DETaK mengadakan musyawarah besar (mubes) yang saban tahun menjadi rutinitas wajib DETaK. Dalam mubes tersebut, agenda yang dibahas diantaranya memberi laporan pertanggungjawaban tiap-tiap kepala bidang, membahas AD/ART,GBHK/GBHO, hingga pelantikan pimpinan umum baru DETaK.

Meski pun beberapa program kerja keredaksian yang saya pimpin masih belum terlaksana sepenuhnya, Alhamdulillah, hingga 10 bulan mengemban tanggung jawab, saya mencoba melakukan yang terbaik untuk DETaK bersama dengan anggota-anggota DETaK yang lainnya. ^^

Saya tidak menyangka, proses mubes berlangsung hampir 20 jam lamanya. Dimulai dari pukul 10.00 pagi (Hari Sabtu), dan berakhir pada pukul 06.00 pagi (hari Minggu). Siapa yang tidak tepar, lemas, ngantuk, mual, pusing, menghadapi mubes yang extra long time itu???(hehe)


DETaK Family (dok.DETaK)

Usai buka puasa bersama, (dok.Fitri)
Namun biar begitu, agenda mubes tersebut berlangsung dengan lancar dan damai. Suasana kekeluargaan pun muncul disana, even must to stay along night, mubes tetap hidup sampai pagi. (Jaya..jaya )

Lewat pukul 06.00 pagi, selesai sholat subuh, saya dan rekan-rekan wartawati DETaK langsung menuju penginapan untuk sejenak meninabobokkan mata yang jenuh, lalu raga yang kian melemah. (Bayangin aja, 20 jam lohh :D)

Tahun-tahun berlalu, berdoa untuk selalu bermuhasabah diri, berbenah dan menciptakan karya terbaik dengan segala kemampuan yang ada.

Bertuanglah sejauh mata memandang
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang
Bergurulah sejauh alam terkembang (A-Fuadi-Rantau 1 Muara)

Komentar