Pembunuh Saat Lebaran

Duar..Durr..Duarr..Durr...

Malam lebaran semarak dihiasi warna-warni kembang api, anak-anak, muda hingga tua tumpah ruang ke jalan menggemparkan malam takbiran. Dari ribuan manusia yang asyik menikmati malam, tentu tidak semuanya berangkat dari niat utama yakni mengumandangkan takbir, mungkin ada di antara mereka yang hanya ingin keluar malam karena bosan, ingin menikmati rona kembang api, ingin melihat keramaian, bahkan yang lebih parah, mengejutkan umat dengan bermain petasan.

sumber gambar : www.cyberdakwah.com

Bicara bahan peledak berbalut kertas tersebut, karir petasan terbilang sukses menyulap manusia mendekati jurang kematian. Hari kedua lebaran, Jum'at 10 Agustus 2013 lalu, seorang bocah di Sidoarjo meninggal karena bermain 'petasan'. Usianya masih sangat muda, lima tahun. Bahkan ketiga temannya yang lain terluka dan harus diamputasi. (http://www.tempo.co/read/news/2010/09/07/179277109/Jari-Putus-Gara-Gara-Mercon-Meledak-di-Tangan)

Petasan sungguh tak main-main menunjukkan taringnya, terlalu banyak melakukan eksperimen pada petasan hanya akan mempercepat riwayat hidup seseorang. Ujung-ujungnya, tangis histeris tak percaya anak tercinta pergi ke alam baqa jadi tontonan para pelayat. Oh Tuhan...

Mengapa, mengapa, dan lagi-lagi mengapa harus ada kisah sedih di hari lebaran? Rasanya tindakan dari para aparat yang sudah grebek sana-sini menyita petasan dari para pedagang belum juga maksimal. Contohnya, di daerah saya sendiri para pedagang masih enjoy melakukan transaksi jual beli petasan.

Kebanyakan pelaku yang riang gembira membakar petasan adalah mereka yang masih berstatus anak-anak juga para remaja SMP. Bahkan dengan isengnya, anak kecil tak lagi punya rasa sopan pada orang tua, 'Mercon' yang dibalut kertas ukuran kecil-kecil menjadi andalan mereka mengelabui objek sasarannya. Mereka berani dan tak malu-malu membakar mercon dan mencampakkannya begitu saja ke arah target. Hasilnya, suara menggelegar memecah gendang telinga, jika target adalah pengidap penyakit jantung, tentu nyawanya sudah berpulang pada Tuhan.

Sungguh tradisi yang membawa mudarat ini bagai tak punya rasa jenuh, setiap tahun ada saja korban jiwa dari kebiasaan buruk ini. Orang tua malah ada yang menyetujui anaknya membeli dan memainkan petasan. Bukankah ini hal yang konyol? Lalu, kalau bukan orang tua yang melarang tegas anak-anaknya, siapa lagi.

Larang, larang, dan larang. Orang tua jangan segan melarang anaknya untuk tidak membeli dan memainkan petasan. Tak ada sisi romantis sedikitpun dari petasan, ia hanya bahan peledak berbalut kertas berupa koran-koran bekas, yang mampu meledak dengan suara yang berpotensi merusak indra pendengaran.
 
Petasan, ah! jangan mau diperbudak benda pembawa maut itu, sudahlah adik-adik, bertakbir bersama teman-teman keliling kampung toh lebih asyik ketimbang bermain petasan. Ayo, yang sudah berkali-kali bermain petasan silahkan pensiun, bagi yang belum pernah bermain petasan atau membelinya, jangan mau tergoda. Rugi saja habiskan uang hanya untuk membeli petasan, lebih baik uangnya ditabung atau beli makanan yang sehat. oke ^^

Komentar