STILL ALIVE


Ran membanting pintu kamarnya keras, ia mengerang marah dengan jemari tangan kirinya yang sibuk mengunci pintu rapat. Ia berjalan menghadap tumpukan buku di meja belajarnya murka, penuh emosi hingga beberapa buku jatuh ke lantai dengan kondisi terbuka, terdapat beberapa helai kertas ikut terlepas dari badan buku. Ran mengurut dahinya kuat, tak lama air matanya bicara.

Ia sandarkan tubuhnya di sisi dinding menekuk lehernya pelan. Ran mirip gadis kecil yang menangis tersedu saat tahu boneka kesayangannya hilang. Ia membenamkan mukanya di kedua telapak tangannya yang dipenuhi peluh. Ran larut dalam kesedihan hingga 
sebuah suara nyaring memekakkan gendang telinganya.

sumber gambar www.google.co.id

“Anak manja, jangan bilang kau sedang mengurung diri di kamar lalu menangis sekarang!” bentak suara di seberang sana saat Ran menekan tombol berwarna hijau di ponselnya.

“Anak manja, buka matamu! Sudah berapa kali ku bilang, jika kau ingin jadi lelaki kuat dan tegar, kau tidak boleh cengeng seperti ini, aku yakin kondisi kamarmu sekarang seperti kapal pecah,” suara itu semakin memekakkannya, Ran membuang pandangannya mengamati sekitar, persis seperti ruangan mati tanpa penghuni.

“Anak manja, kalau kau ingin melihatku tersenyum, maka buang rasa sendumu dan tersenyumlah,” Ran membisu, ia tak membalas sambutan suara itu dan memilih bangkit dari duduknya bersiap menghadap cermin yang menggantung di sisi kanan jendela.

Ran menyentuh pipinya, memandangi matanya yang membengkak merah, juga rambut hitamnya yang tampak acak-acakan. Gerak hidungnya masih kembang kempis meraih oksigen, Ran memukul  pipi kanannya berulang kali.

“Aku bukan anak manjaaa!!!!” teriaknya menggelegar. Air mata yang tadi sempat mengering kembali deras berjatuhan. Matanya tak juga beralih, masih setia memandangi dirinya di dalam cermin.

“Sudah kuduga, kau anak yang hebat Ran!” guncang suara di seberang lagi, “Sekarang pergilah ke atap, dan lepaskan suaramu disana!” pintanya.

Ran mengikuti permintaan itu, ia berlari cepat menuju lantai dua rumahnya dan bersiap mencapai atap. Ran berdiri gagah mendongakkan wajahnya ke langit. Ada banyak kumpulan awan cantik hinggap disana. Ran berteriak keras semampunya, ia melepaskan segala beban yang menumpuk dalam dirinya.

“Ran, kemarilah sekarang!” bunyi suara dari balik ponselnya yang masih ia genggam di tangan. Ran tersenyum lapang, ia mengangguk mantap.

 Razi, suara yang sedari tadi membiusnya dari balik telepon. Mereka adalah sepasang anak laki-laki kembar yang lahir dari rahim yang sama. Namun Ran masih terlalu emosi menanggapi sikapnya. Sesungguhnya, pria itu tak rela melihat Razi harus berubah, melihatnya tak bisa lagi menari, atau mengantarkan Ran ke SMA dengan sepeda ontelnya. Jika Razi adalah atlit sepak bola, mungkin masa jayanya akan kandas jika sudah kehilangan kedua kaki. Tapi, dia masih hidup dan belum mati.

by Anggita Rezki Amelia

Komentar