Melihat Matahari


Sosok tubuh jangkung dengan sedikit janggut halus di dagu, berjalan mondar-mandir mengelilingi taman di halaman depan rumah dengan wajah cemas. Matanya menyipit dengan melontarkan beberapa kalimat emosinya. Lelaki itu mulai lelah berdiri, ia duduk di kursi taman lalu membuang wajahnya menyorot mukaku tanpa ekspresi. Aku juga tidak membalas tatapannya dengan senyuman, justru aku sibuk menatap mawar manis yang merekah di pinggir pagar, Mamaku yang rajin menanam dan menyirami bunga itu setiap hari, kecuali hari ini. Ya, Mama sedang menemani Papa yang terbaring di rumah sakit. kemarin siang jantung Papa kumat lagi. 
 
sumber gambar : www.google.com
 
 
“Jun! kok diem aja sih?” mata lebarnya membidik mataku sinis. Aku menggeleng dan tak mau meladeni ucapan konyolnya. Dari tadi Haris duduk dengan posisi cemas sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya tak menentu. Tangan kirinya sibuk menggenggam ponsel barunya  yang berbasis Android. Dua minggu yang lalu Haris berhasil merengek meminta ponsel itu dari Mama. Mungkin karena dia adik bungsuku, Mama sedikit tidak tega melihatnya kalah saing dengan teman-teman SMA-nya yang mayoritas sudah mengenggam ponsel canggih di tangan mereka. Aku pikir Mama terlalu berlebihan akan hal itu, Haris memang masih labil, namun aku tidak suka dengan caranya bergaul dengan temannya. Adikku itu masih lugu, berulang kali ia luput menjadi mesin ATM teman-temannya. Itu buruk! Terutama dengan Hani, pacar barunya.

“Han! Masak kamu gak ngertiin juga sih, Papaku lagi sakit sekarang,” Haris geram, namun tak berani menaikkan intonasinya untuk sekedar memaki gadis yang bersuara di ponselnya itu. Aku hanya bertopang dagu menatap geliat Haris di depanku. Hampir gerah, aku pun meminta Haris menyerahkan ponselnya. Tanpa pikir panjang, lelaki kurus itu pun memberikannya langsung padaku.

“Kau tau Hani! Jika kau terus mencintai Haris seperti ini kau benar-benar rugi! Gadis cantik sepertimu apa mau hidup dengan pria miskin seperti Haris?” suaraku bernada ringan menyapa seseorang di seberang sana.

 “Yang kaya raya itu hanya Tuhan, lalu Dia membagi rezeki-Nya pada Papaku karena Papa berhasil mengais rezeki halal yang tersebar di muka bumi ini, dengan rezeki itu Papaku menjadi kaya, lalu dapat menyekolahkan aku dan Haris. Tidak hanya itu, Papaku juga bisa membeli rumah, ini semua karena rezeki yang Tuhan bagi pada manusia yang mau mencarinya!”

“Oh ya Han! Kau tau tentang cinta sejati? Aku rasa kau dan Haris belum bisa dikategorikan cinta sejati, buktinya, Haris merengek meminta Android pada Mamaku agar bisa kau pakai untuk sekedar surfing internet gratis di ponselnya! Ya, itu keburuntunganmu yang bersifat sementara Han! Haris saja yang terlalu tolol, dia tidak cocok menjadi panutan pria idaman wanita. Haris lemah, dan kau kuat! Anehnya, sebagai orang yang kuat, kau tidak mau berbagi pada orang yang lemah, apa aku bisa menyebutmu sebagai seorang yang zalim?” 

 “Han, kalau detik ini juga kau dan Haris resmi berpisah, ini akan menjadi kabar baik, karena Haris akan banyak mendapat pelajaran berharga dari hidupnya yang masih terbilang konyol. Dan kau Hani, kau juga akan lebih beruntung jika berpisah darinya, kau akan terbebas dari bayangan manusia lemah bernama Haris, lelaki 17 tahun yang menurutku masih belum tahu apa-apa tentang hidup!”

“Jika kau mau, doakanlah Papaku dan Haris agar lekas sembuh! Kali ini kami sedang di uji oleh Tuhan lewat penyakit jantung Papa yang kambuh, jika Haris berada di posisi Papaku sekarang, dan kau ibarat Mamaku yang tengah menjaganya, apa kau mau hidup dengan pria yang akan divonis mati dalam waktu dekat tanpa meninggalkan banyak harta usai kepergiannya? Yah, aku tahu, Hani adalah gadis yang bijak! Sudahlah, jangan banyak menangis, kau masih muda Hani!” aku berdehem pelan, Haris menatapku lekat. Aku tak lagi mendengar suara Hani di ponselnya, yang ada hanya air mata Haris yang menetes di pipinya. Ada rasa haru saat Haris memelukku erat. Bahkan aku tak menyangka, Hani menangis kencang mendengar seruanku. Aku sangat bersyukur akan hal itu.

“Itu! kau lihat itu!” teriakku melayangkan telunjuk ke arah langit. Haris tersenyum pulas, ia menghapus air matanya. Dari tadi langit berawan, aku duduk di beranda depan sejak pukul 7 dan tak mendapati sinar mentari. Sekarang, saat denting jam sudah menunjukkan pukul 9, aura bintang raksasa itu memancarkan sengatannya lagi ke bumi. Dan aku melihatnya, aku senang beribu kepayang!

“Juni! Kenapa kau suka matahari?” Haris menggenggam tanganku, ia memang begitu, tidak mau memanggilku Kakak dan nyaman menyebut namaku saja setiap harinya.

“Matahari bersinar bagiku ialah pertanda baik bahwa kehidupan ini masih berputar. Itu artinya aku masih bisa menghirup oksigen milik Tuhan, bisa melihat keluargaku, melihat dunia, dan merasakan air mataku menetes bahagia,” kutoreh wajahku memandangi Haris, jemari tangannya berhasil menyeka pelan air mataku yang sudah jatuh. "Asalkan aku tidak pernah diberi kesempatan menyaksikan matahari terbit di ufuk barat," tambahku pelan.

 “Selama ini aku tolol, dan aku tidak pernah mau berguru dengan Kakakku sendiri! Kak, maafkan aku sering mengabaikanmu!”

“Aku bersyukur kau masih mengabaikanku namun setiap pagi kau selalu menyapaku di rumah ini, yang kutakutkan hanya saja jika kau lupa tentang seorang Juni Ariani, Kakak sulung yang satu-satunya kau miliki!” ucapku yakin, lagi-lagi air mata membanjiri. Haris mendorong pelan kursi rodaku menuju ke tengah-tengah taman.

“Kak! mari kita berdoa untuk kesembuhan Papa, kau, dan kebaikan hidup kita!” aku larut memejamkan mataku. Haris, adikku sudah dewasa ternyata!

     THE END  

a flash fiction by : Anggita Rezki Amelia
                               @anggitaryeowook
 
 

Komentar