the other side

Pemandangan hari ini sangat indah dimataku, semua yang kulihat masih sama, tidak ada yang berbeda atau ganjil sekalipun. Penduduk yang ramah, lapangan bola yang hijau, kupu-kupu yang gencar berwara wiri di padang ilalang di kaki bukit itu.  Aku cinta tempat ini, suasana hangat kembali memanjakan ingatanku, mengingat, mengenang, terharu. Ya, aku hadir.
 
Puncak pohon cemara yang lumayan tinggi tampak gemulai di gerakkan angin, perlahan udara sejuk menghampiri ragaku, mengejutkan lembaran notes kecilku yang usang. Aku tak membawa pulpen atau pensil, aku tak mau menulis lagi. Tidak! janjiku masih melekat erat dalam nuansa pikirku. Langkahku kemari hanya sebuah panggilan jiwa yang awalnya tak kuhiraukan.

sumber gambar www.google.co.id


Aku bangun dari dudukku dan berjalan mengitari tempat itu, seorang pengembala kambing yang masih remaja asyik menemani hewan-hewan piaraannya  menikmati rumput hijau. Aku tersenyum sejenak, kemudian berpaling menatap kawanan bunga yang tengah mekar. Dugaanku benar, aku menangis kecil dengan mengandalkan kedua telapak tanganku menutupi raut wajahku. 

“Kau menangis?”

Pengembala kambing yang tidak kukenal itu menghampiriku, ia risau dengan tangisanku. Aku hanya mengangguk, tak lama suasana cair dengan suguhan cerita-cerita dari pengembala itu. Dia sangat ramah dan baik, tak heran jika cerita masa lalu itu harus kuumbar padanya. Kuceritakan penyebab air mata ini jatuh, perjalanan hidupku, kenangan di tempat ini, dan segala hal yang memancing ingatanku untuk seutuhnya mengenang tempat ini.

“Kau sangat tegar sekali,” senyumnya merekah, ia memintaku untuk segera menghapus air mataku.

“Tempat ini tak lain adalah tempat kami sekeluarga menghabiskan liburan tahun lalu. Putri kecilku yang sangat antusias ingin kemari” balasku pelan.

“Pasti putrimu sangat cantik, sama seperti Ibunya yang baik hati ini!” ia mengangguk kecil.

“Tenanglah Bu! Aku tidak memandangmu dari sisi yang berbeda. Kau tetap seorang Ibu yang cantik dan baik, luka itu bukanlah alasan yang menutupi kecantikan hatimu”  tambahnya kembali.

Aku termangu sejenak, ia tak sedikit pun merasa risih dengan kehadiranku. Dia pun tidak segan menatap wajahku berkali-kali. Luka bakar di wajahku tidak membuatnya terganggu melihatku. Terima kasih Tuhan.

“Sejujurnya, kau sangat mirip dengan putraku” senyumku padanya. Alwi tampak tersipu malu. Cerita kami semakin seru dan menyenangkan, bertemu Alwi membuatku sadar bahwa setahun yang lalu adalah mimpi buruk yang menimpa mereka yang kucintai. Selama itu keikhlasan belum mampu hadir dalam hatiku. selama itu pula hidupku tampak berat, segala hal menjadi aneh dan tidak menarik minatku untuk melanjutkan denyut kehidupan yang terus berjalan.

 “Doakan mereka selalu dan tetaplah menjadi seorang Ibu yang ikhlas,Bu!” kenangku.

SELESAI
Anggita Rezki Amelia
@anggitaryeowook

Komentar