SECOND CHANCE

By Anggita Rezki Amelia
@anggitaryeowook
                  “Sampai kapan malam ini usai?” kubanting gitarku ke lantai yang berdebu. Benturan keras menimbulkan bunyi nyaring dalam heningnya kegelapan. Kupalingkan mata menatap bintang, memainkan tanganku dari kiri ke kanan, mencoba menggapainya, mencoba meraih sinar intan kepunyaan Tuhan.

            Udara dingin menggerogotiku, mencoba mengusik posisi dudukku yang terbilang kaku di pinggiran pantai, hanya mengandalkan mantel tebal diikuti topi yang membuatku hangat. Sesekali tubuh ini masih saja mengatakan kedinginan.

           Satu jam lagi mentari akan membangunkan warga bumi, termasuk aku, wanita pincang yang masih sombong melangkahkan kaki menyusuri malam seorang diri. Aku takut dan bingung dengan langkahku. Namun kucoba untuk mengambil tindakan yang bijak, menyepi kurasa adalah multivitamin dalam hidupku. Aku tak sanggup hidup dalam aliran makian silih berganti, bisa jadi hari ini Ibu pulang telat, atau Ayah yang menggandeng alkohol, bahkan wanita muda yang datang membawa seorang bayi mungil sambil bersujud di kaki lelaki tua itu. 

Sumber gambar www.google.co.id

             Aku terus memandang kejadian pilu yang terkadang menyambar otakku untuk terkekeh geli, bukan karena lucu, namun karena tak sanggup menyikapinya lagi. Bahkan kakiku tergolek kaku bukan karena berhasil mengendarai sepeda motor atau dihantam bus kota. Malam itu, aku bagai berada dalam dimensi lain, berteman baik dengan sebilah pisau tajam. Ayah, dia yang menarik tubuhku yang sebahagian telah dilumuri darah segar yang pecah dari tusukan pisau pertama.

                     “Mataha..ri..” bisikku sembari membuka pelan kedua mata ini, sinar yang menyehatkan datang. Aku tak sadar tertidur nyenyak di atas pangkuan tanganku. Deru ombak tak sebising tadi malam, tampak tenang dengan pantulan cahaya kemilau.
             
             Langkah cacatku bukanlah penghalang untuk sekedar merasakan sejuknya air laut yang biru, terduduk lama bermain butir-butir pasir yang putih, melambaikan tangan kecil menyapa burung, dan menarik sudut-sudut bibir untuk sekedar tersenyum.
            
                       Kesempatan menghampiri hidupku untuk lebih mengenal kata tegar, walau ku tak tahu apa yang akan terjadi sepulangku nanti. “Terbang, terbanglah tinggi…temui awan dan beri salam pada langit..”
               
                THE END

Komentar