merindu

by anggita rezki amelia

            Matahari sudah di puncaknya. Pancaran cahaya terang mampu menyengat segala jenis kulit mahkluk bernama manusia, tak terkecuali tumbuhan dan juga para hewan. Rey membentang pandangannya ke arah samudra, seragam sekolah masih melekat namun sudah terlihat acak. Dasinya yang tadi pagi amat rapi melingkar di lehernya kini mulai lengah. Terkadang ia berjalan memutar, berlari-lari kecil dari timur ke barat, lalu berdiri tegak kembali di tengah-tengahnya. Bertelanjang kaki tanpa balutan sandal bukan masalah besar baginya. Kedua kaki yang sudah terbiasa menginjak pasir putih setiap harinya. 

       “Rey, kemari Nak!” seorang wanita yang mulai renta menungguinya di bawah pohon beringin. Senyumnya merekah saat Rey dengan spontan membalikkan tubuhnya dan langsung menemui wanita yang mengandungnya selama 9 bulan dulu. 

sumber gambar www.google.co.id

             “Bagaimana dengan tugasmu di sekolah?” tangan Naima amat mahir menekankan beberapa makna. Rey mengangguk, tersenyum, dan terakhir, memeluk langsung Ibunya.

       “100…” tunjuknya tepat di angka 100 pada lembaran kertas putih dari dalam sakunya.

            Tubuhnya kembali merasakan dekapan hangat seorang Ibu yang bahagia di siang hari yang terik, Rey mengarahkan telunjuk kanannya ke arah bibir pantai. Secarik kertas tadi dikibarkannya seperti sebuah bendera. Naima kembali terenyuh, sebentuk ekspresi bahagia dari seorang lelaki kecil si tunarungu, berlari mengitari pantai dan tiba-tiba berbalik kembali ke pangkuan Naima.

        “Kau menangis sayang?” Naima belum mahir membohongi matanya.

     “Aku rindu Ayah, Bu!” Isak suara nan halus terlontar dari bibirnya. Ketika kenyataan tak seindah kemauan si kecil yang tengah merindu, matanya menyeru seperangkat air mata untuk mengalir sebentar saja.
               

                THE END

Komentar