Remember, Don't to Forget


By : Anggita Rezki Amelia


Sumber gambar www.google.co.id
              Aku tak mengharapkan tubuh ini harus masuk dalam dimensi waktu yang lain, dimana tanganku yang seharusnya bisa meraih pena untuk mengisi diary-ku harus tergeletak kaku  dan sesekali saja dapat bergetar.  Senja yang tenang terekam dalam lensa mataku. Sudah lama tak mampu merasakan tiupan angin pelan di tepi pantai yang hening dari keramaian orang namun tetap pikuk dengan deru ombak silih berganti. Kulirik pena di tanganku sebentar, lalu melempar tatapan kosong menghadap air yang biru.


                “Masih sakit tidak?” Nabila menatapku cemas.


                “Sedikit Kak, sudah jangan cemas. Aku baik-baik saja” timpalku mencoba tersenyum, Nabila tak lepas menatapku lagi. Tak lama ia membelai rambut panjangku, “Kakak bagaimana?” bisikku kecil.


                Tanpa jawaban, ia tersenyum padaku. “Semoga tak ada lagi pukulan-pukulan selanjutnya ya? Aku sangat berharap semua ini berakhir” tak lama wajah Nabila dipenuhi air mata.


                Aku memeluknya lama, berdua kami menangis kecil dan mencoba tegar di dalam sunyinya malam. Berdoa agar isak tangis ini tidak bocor memecah suasana luar, jangan, aku tak mau Ayah tahu suara ini, suara yang akan memancing tangan Ayah untuk mengambil rotannya yang dapat mencabik kulit hingga ke tulang, yang dapat memecahkan gelas dan piring hingga berantakan di lantai, yang mampu menggilas hati nuraninya sebagai seorang kepala keluarga. Ayah, sampai kapan Engkau begini?


                Malam itu sangat dingin, tiba-tiba Ayah pulang dengan teriakan kencangnya. Ibuku tak bisa berbuat banyak dan hanya mampu mengintip suaminya dari balik jendela. Pintu rumah yang terkunci rapat membuat Ayah meluapkan emosinya di beranda depan. Teriakan lantangnya begitu keras membuat kami semua tak berani mengambil tindakan. Nabila mulai gemetar di sudut kamar, Ibu terus saja mengucap doa pelan dalam hatinya. Membuka pintu bagi Ayah disaat seperti itu sama saja mengajak rotan mautnya untuk menggilas siapa saja yang ia anggap menentang.


                Aku berpikir lama dengan sorot mata yang tak berkedip, kuputuskan melajukan langkah kaki dengan hati-hati dan penuh ketakutan. Bisikan Nabila dan Ibu tak membuatku ciut untuk maju, aku ingin mencoba cara terakhir menaklukkan Ayahku yang sudah parah bergelut dengan narkotika, aku ingin memeluk kakinya dan mencoba bersujud di kaki seorang Ayah yang selama ini membesarkanku.


                BRAKKKK


                Pintu terbuka secara paksa, yang terdengar olehku hanya jeritan Ibu dan Nabila sesaat usai mataku mampu merekam jelas darah segar mengalir dari otakku.

***


                Kalimat pertama berhasil tergores dengan sedikit tak beraturan dalam notesku. Selama lebih 3 bulan raga ini berhenti sejenak dari nuansa hidupku yang mencekam di atas sebuah tempat tidur dengan segala peralatan medisnya.


                Curahan hati Ibu yang masih membekas saat tahu Ayah tak lagi bersamaku, malam itu adalah potongan akhir ceritaku dan Ayah, cerita yang salama ini menyisakan tangis dalam tidur malamku, cerita yang selama ini berhasil membuat Nabila ketakutan tak menentu setiap bertemu Ayah.


                Aku tak bisa membayangkan bagaimana massa mengamuk dan silih berganti menghabisi nyawa Ayahku, nyawa yang hilang dan tak bisa tergantikan kembali saat tubuhnya berlumur darah di hantam tangan-tangan tak bertanggung jawab.


                Ayahku, tidaklah terlalu buruk, seandainya malam itu tubuhku tak jatuh melemah, aku pasti membela Ayah, aku pasti memeluknya dan aku rela nyawaku harus menjadi taruhan akhir, asalkan Ayah dapat hidup dan menjalani masa rehabilitasinya.


                Aku….


                Sayang…


                Ayah…


                Selamanya….


                Tangisku meledak bersamaan dengan kumandang Azan magrib dari arah timur, aku mengunci penaku dan memasukkannya ke dalam saku. Aku berhasil menulis sepenggal kisah lama yang masih terukir, kisah manis saat Ayah mengajariku berenang di laut ini.


THE END

Komentar