Dibalik Suara Tanpa Rupa

Dan dia mengatakan sendiri atas kesalahan terbesarnya yang masih membekas, ketika kesempatan baik disia-siakan, ketika sebuah kesempatan yang sangat sakit untuk dicari celahnya tak dihiraukan hingga membawa duka penyesalan.


Pamanku dan keponakan saat asyik main bola di tepi pantai

Aku senang malam ini, air mataku juga ikut terpancing usai percakapan ringan itu selesai beberapa menit lalu. Suara khas milik pamanku tercinta di seberang pulau sana masih terekam jelas. Kembali ia mengingatkanku untuk serius kuliah dan menjadi anak yang berhasil kelak. Lewat dialognya, aku terhanyut kembali mengingat bunda dan bapak dirumah sana. Orangtua penuh jasa yang berhasil menghantarkanku hingga menjadi seperti sekarang.

Aku tak menyangka, malam ini menjadi malam yang dibubuhi isak bahagia nan haru, ketika suka duka kita dulu terekam, dan paman mengungkapkan itu kembali seakan tengah melihat reka ulang dalam suguhan video berdurasi lama. Terimakasih keluargaku, kalian masih memberiku semangat, masih mempercayaiku untuk terus maju menapaki hari, meraih bintang impian, meraih mimpi yang selama ini membelenggu benakku untuk segera terwujudkan.

Kami bukanlah keluarga yang terlahir dari setumpuk berlian di depan mata, emas dan perak yang berserakan di lantai, atau berkarung-karung uang untuk tujuh keturunan. Paman mengajariku untuk melihat ke belakang sebagai acuan untuk tidak sekalipun sombong jika sudah berhasil kelak.

Kakek yang setia menanam kacang dan ubi di ladang bersama nenek menjadi bagian dari dialog kami, masih mampu membayangkan kicau burung menyambut pagi di suatu desa kecil. Saat itu libur sekolah dan aku memutuskan untuk berlibur ke tempat mereka, merasakan nikmatnya bercocok tanam sembari berteman dengan kupu-kupu, capung, bahkan ilalang di kaki bukit saat hendak mencari kayu bakar.

Paman, terimakasih untuk waktu yang hanya sebentar ini, untuk waktu yang sekejap dapat menampilkan gambar-gambar lama untuk bergerak sesaat di memori kita. Kisah yang selama ini tercipta menjadi pelajaran dan perlu diambil hikmahnya. Tak perlu mengambil pisau untuk membunuh masa lalu yang mungkin ingin sekali dibenci seumur hidup. Ciptakan keikhlasan dan cinta yang tulus untuk oksigen hidup kita kedepannya. Untuk hidup yang penuh dengan cercahan-cercahan cahaya milik Allah, untuk hidup dan mimpi-mimpi yang nyata.

Untuk air mata yang menetes rapi dalam bingkai kebahagiaan kita sekeluarga....

Ya Allah, terimakasih untuk jalan hidup yang telah Engkau berikan...

Aku cinta kalian semua...

^___^

Banda Aceh, 18 Februari 2012
Anggita Rezki Amelia

Komentar