TIADA YANG SEMPURNA

TIADA YANG SEMPURNA
Oleh Anggita Rezki Amelia
Grin adalah sosok wanita cantik juga pintar. Ada saja pujian sana-sini jika tengah membahas seorang Grin seantero SMA Nusa Bangsa. Kacantikan, sikap yang baik, tidak sombong, ramah, tidak pelit, bahkan menjadi incaran kaum laki-laki satu sekolah, mulai dari junior sampai senior.
                “Grin, Kak Anto dari kelas 3-5 kirim salam buat kamu, katanya kalo kamu mau, dia nunggu kamu di halte pulang sekolah nanti. Ada yang mau ia bicarakan sama kamu” seru seorang teman bernama Nia.
                “Wa’alaikumsalam! Maaf Nia, untuk memenuhi janjinya aku tak bisa. Pulang ini aku harus mengantar adikku pergi les. Sampaikan maafku padanya ya!” ungkap Grin lemah lembut, inilah jurus jitu Grin sehingga setiap orang enggan bersikap emosional padanya.
                “Baiklah, nanti akan aku katakan padanya” seru Nia dan berlalu meninggalkan Grin yang tengah memegang handphone. Grin mencari nama Ronal dalam kontak, adiknya yang masih duduk di SMP.
                “Kak Grin! Cepat kemari! Aku muak berdiri seperti orang bodoh di depan sekolah. Aku malu diliatin teman-temanku” papar Ronal diseberang.
                “Iya adikku, Kak Grin mau berangkat nih. Tunggu sebentarrrr aja yahh!!” pinta Grin begitu lembut. Ronal memutuskan sambungan telepon tanpa ucapan salam, Grin hanya tersenyum, ia tau betul adiknya itu sangat temperamental.
                Satu hal yang sangat dicintai Grin, sepeda. Ia sangat senang bersepeda sampai sepeda motor pun tak kuasa ia kendarai dan memilih sepeda menjadi kendaraannya. Kesederhanaan Grin menjadi nilai plus yang membuat semua orang jatuh hati pada kepribadian Grin. Grin mengayuh sepeda dengan kencang, tujuannya adalah SMP Teladan.
                “Kak, sampai kapan aku harus selalu berada di belakangmu dan kau memboncengku setiap pulang sekolah? Aku capek begini terus kak” repet Ronal panjang di siang yang lumayan terik.
                “Tenanglah! Sepeda lebih baik dari pada yang lain. Bebas polusi dan bisa menikmati alam dengan bebas. Setuju?” sahut Grin santai.
                “Tidak!! Aku tidak suka sepeda, aku selalu saja jatuh kalau belajar mengendarai sepeda. Aku mau minta Mama menjemputku saja besok. Cukup sampai disini saja aku harus naik sepeda bareng kakak” tambah Ronal emosi. Grin tak menghiraukan dan malah mengayuh sepeda dengan kencang, wajahnya yang putih bersih mulai berkeringat, rambut yang terkuncir rapi mulai sedikit teracak dihembus angin semilir.
***
                “Aku baru saja putus dari Doni, dia selingkuh sama junior di sekolah ini. Gimana aku gak kesal Grin? Doni keparattt!!!” timpal Nia penuh dengan kekesalan. Suasana kelas tampak sepi mengingat penghuni berburu makanan di kantin sekolah.
                “Sudahlah, bukan dia saja laki-laki di dunia ini. Tenang saja Nia!” hibur Grin menenangkan hati sang teman.
                “Aku heran padamu Grin, kenapa sampai detik ini kau tak pernah berpacaran. Padahal kau cantik, pintar, banyak yang tergila-gila padamu. Kenapa tidak kau terima saja cinta Antoni, Hari, Qamal atau Luvi tempo hari? Pasti kau akan merasakan jatuh cinta itu seperti apa” gumam Nia begitu panjang lebar. Lagi-lagi Grin menjawab dengan senyuman sembari menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia yang belum terselesaikan, Nia tampak penasaran dengan jawaban sang teman. Tak lama Susan dan Dina muncul.
                “Jawablah Grin! Kami juga penasaran dengan tingkahmu itu” sambut Dina yang ternyata menguping pembicaraan kedua temannya.
                “Aku….a…ku….”
                “Aku tak tertarik dengan mereka, entahlah! Perasaanku biasa saja dan aku tidak bisa mencintai seseorang yang aku tak cinta padanya” ucap Grin pelan.
                “Sudah kuduga! Lantas apa bedanya Qamal dan Luvi? Mereka tampan dan kaya. Apa matamu buta Grin? Mereka laki-laki yang digandrungi seantero SMA ini” tambah Susan menjadi-jadi.
                Tiba-tiba handphone Grin berbunyi nyaring, tertera nama Ronal berkedap-kedip di sebuah layar kecil.
                “Kak Grin tolong aku!” sambutnya cepat.
                “Ronal? Kau kenapa?”  tanya Grin mulai was-was. Ia tak pernah mendapati adiknya menelpon sepanik itu.
                “Kak! Tolong aku, aku tersesat di sebuah jalan  sepi. Disini gelap dan aku tak tahu jalan pulang, yang aku ingat tadi ada  sebuah Mesjid bernama Al-Ikhlas, di daerah Beringin” jelas Ronal ketakutan. Grin tak tinggal diam, usai mendapat izin dari pihak sekolah, ia mengayuh sepeda lebih cepat dari biasanya. Daerah Beringin menjadi tujuan utamanya. Grin berharap adik satup-satunya itu tidak apa-apa.
                Lelah mengayuh sepeda, Grin berhenti di bawah pohon rindang. Daerah Beringin telah ia jelajahi, namun Ronal tak jua ditemukan. Grin tak kuasa menangis, ia menutup mukanya dan menangis tersedu-sedu. Ia begitu sedih dengan nasib adik kesayangannya yang ntah dimana.
                “Kau dimana Ronal? Kakak disini” batin Grin pelan, air matanya masih bersimbah. Tadinya Grin sempat menabrak sisi jalan sehingga mata kakinya berdarah, ia terlalu bersemangat mengayuh sepeda sekencang mungkin demi Ronal. Ia terlihat lemah, Grin ingin melanjutkan perjalanan, namun kakinya tak kuat digerakkan terlalu lama.
                                                                                                ***
                Grin terkejut ketika sadar, ia tengah berada di sebuah kamar dan  tengah terbaring lemah. Ronal tepat berada disebelahnya dengan nasib yang sama. Ronal belum sadarkan diri dengan balutan seragam pasien rumah sakit.
                “Kau siapa?” tanya Grin pelan pada seorang laki-laki yang menghampirinya.
                “Aku Ari! Aku yang membawa kalian berdua kemari. Kutemukan kau pingsan di bawah sebuah pohon rindang. Itu adikmu kan?” ungkap Ari menjelaskan.
                “Iya, itu adikku Ronal. Dia kenapa Ri?” ucap Grin begitu khawatir.
                 “Tenanglah, dia hanya pingsan melihatmu sendirian tadi, belum lagi ia melihat kakimu berdarah hebat”. Grin begitu berterima kasih pada Ari, ia seseorang yang menolong keduanya dan mempertemukan Grin pada Ronal.
                Lambat laun, keadaan Grin dan Ronal mulai membaik. Mereka berdua dapat bersekolah kembali dan bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Namun Grin merasa kehilangan, ia begitu ingin bertemu Ari kembali. Semenjak Grin dan Ronal dinyatakan boleh pulang oleh dokter, Ari tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Grin hanya tahu nama Ari saja, hanya namanya. Ia tak tahu dimana Ari tinggal, sekolah, atau bekerja. Grin begitu ingin menjumpai laki-laki berhati baik itu, begitu pula Ronal, ia juga ingin bertemu Ari.
                “Kak, bukankah Ari itu seumuran dengan Kakak? Mungkin saja ia sekolah di tempat kakak atau pun sekolah-sekolah disekitar sini” ucap Ronal saat mereka berdua tengah berjalan pulang, kali ini Grin tidak mengendarai sepedanya, mereka berdua berjalan menuju persimpangan untuk naik bus umum.
                “Entahlah dik! Kakak juga ingin sekali tahu keberadaannya,” tutur Grin datar. Hatinya sedih jika mengingat Ari kembali, sesaat ia membayangi sosok Ari tengah menunggui Ronal siuman ketika di rumah sakit. wajahnya yang teduh dan akhlaknya yang baik membuat Grin senang mengenalnya.
                “Kak…lihattt itu…” sentak Ronal menarik lengan seragam sekolah Grin begitu kuat, ia ingin menunjukkan sesuatu pada Grin sesegera mungkin.
                Grin tak menjawab dan langsung mengarahkan pandangan kedepan sesuai arah telunjuk Ronal. Grin tertegun begitu pula Ronal, keduanya terdiam sesaat dan tak berkata-kata. Sosok yang mereka rindukan itu hadir dihadapan mereka, mereka begitu takjub.
                “Benarkah ini kau Ari?” tanya Grin dengan tatapan lekat.
                “Benar! Aku Ari, kenapa kalian berdua menatapku seperti penjahat? Apa aku seseram itu?” timpal Ari sedikit bercanda.
                “Oh Ari…..aku sangat berhutang budi padamu” sambut Ronal dan langsung memeluk Ari seperti kakaknya sendiri, Grin sempat heran namun ia tersenyum melihat geliat adiknya itu.
                “Mengapa kau pergi tanpa pamit?” tambah Grin lagi.
                “Aku terburu-buru sampai tak sempat mengabari kalian, aku harus menemui ibu mertuaku yang jatuh sakit. Maafkan aku ya teman!” tutur Ari begitu lembutnya. Sesaat Grin termangu dan tampak tengah memikirkan sesuatu. Ia mungkin kaget ketika tahu Ari telah berkeluarga, sosok Ari yang membuatnya kagum telah dimiliki seorang wanita yang beruntung. Ronal sibuk bercakap dengan Ari, tak lama seorang wanita berjilbab muncul dari kejauhan.
“Nah! Itu istriku” jari telunjuk Ari yang putih bersih tampak bercahaya di bawah sinar mentari.
SELESAI

Komentar