Saat Ibu Bilang Rumah Sudah Sepi
Rumah bercat putih pudar itu hening, tak seperti dulu, rumah
itu ramai penghuni. Ada kakak, adik nomor dua, adik nomor tiga, dan si bungsu. Lalu
waktu kian bergerak maju, empat anak manusia itu sudah tak lagi berada di
rumah. Rasanya baru kemarin menjadi bocah Sekolah dasar. Sungguh kuasa-Nya yang
membuat tahun silih berganti, membuat keempatnya tumbuh dan menjadi manusia
dewasa, lalu, satu per satu pamit menuju kota rantau untuk kuliah.
Kini, giliran si bungsu yang beranjak dari rumah, menyusul
ketiga kakak-abangnya berkuliah ke luar kota. Alhamdulillah, ia lulus di salah
satu universitas Islam di Banda Aceh, kota yang dulu menjadi tempat saya
menimba ilmu. Kepergiannya merantau menambah lengkap keheningan rumah,
menyisakan Ibu dan Bapak yang usianya mulai senja.
Saat asyik bertukar kabar dengan Ibu dari balik telepon
beberapa waktu lalu, ibu tampak tak mampu menyimpan suasana hatinya. Kalimatnya
hari itu membuat saya tertegun juga sedih, Ibu bilang rumah sudah sepi. Ibu
bercerita kini rumah telah lengang, Ibu bahkan bercerita sempat menangis menyadari kondisi rumah yang sudah sepi itu.
foto ilustrasi dok pribadi |
Saya pun mencoba
meresapi suasana hati Ibu, benar sudah ia bak kehilangan putra-putrinya yang dulu senantiasa hadir di tengahnya. Dulu saat saya dan adik kedua sudah pergi
merantau, Ibu tak terlalu bersedih karena di rumah masih ada adik ketiga dan si
bungsu. Namun lambat laun adik ketiga juga berangkat kuliah ke luar, sehingga
tersisa si gadis kecil. Waktu pun bergerak, giliran si bungsu pamit untuk
menimba ilmu.
Terlepas dari kian sepinya rumah kami, Ibu dan bapak adalah
orang tua yang begitu berjiwa besar melepas kami pergi merantau. Ia tak pernah
mengeluarkan larangan, ia hanya berpesan jangan tinggal lima waktu dan
senantiasa menjaga diri di tanah orang. Ia coba untuk kuat menghadapi
hari, Ibu mencoba tegar. Ibu dan bapak berharap kami bisa menjadi anak
yang berbakti pada orang tuanya, berguna bagi agama dan bangsa. Ia tak pernah
mempermasalahkan atau menuntut anaknya harus jadi A atau B, atau C, asalkan kami
menjalani pekerjaan tersebut dengan jalan halal dan dengan segenap hati.
Ibu dan bapak tentu menahan rindu,begitu pun kami. Mungkin
entah sudah berapa banyak rindu yang ia derita, saya pun kerap merasakan hal
itu. Rindu terus menumpuk bak ingin ditumpahkan. Rasanya pulang kampung saat
lebaran kemarin belum cukup mengobatinya, ingin rasanya kembali dan memeluk
keduanya, membantu mereka, dan membuat mereka tersenyum.
Ah, waktu, kau berjalan begitu cepat. Wahai Pemilik Hati,
Zat Yang Maha Agung, Pencipta Ibu dan Bapak kami, Yang Memberi kami karunia,
lindungi dan sayangilah keduanya, mudahkan langkah empat anak manusia ini untuk
bisa berkumpul lagi dengan mereka, kembali pulang, menghidupkan malam-malam
emas seperti dulu, membaca Firman-Mu. aamiinn...
Komentar
Posting Komentar