Mengagumi Kaca yang Tak Retak
Semilir angin nan sejuk berhasil menggoyangkan
ilalang di sebelah utara. Sore itu, mentari begitu menawan memantulkan kilau
keemasannya. Lima undukan tangga di sisi kanan rumah Syafriel Anthony, tak lagi
mampu menjangkau lantai dua. Tsunami
meluluhlantakkan seisi rumah yang kini hanya menyisakan lima pilar penyangga, inilah bukti Kuasa Sang Pencipta.
halaman depan Rumah Tsunami |
Ketika
musibah tsunami menerjang
Banda Aceh, kawasan Ule Lheue merupakan lokasi terparah usai disapu
ombak
raksasa. Kuasa Tuhan, rumah Syafriel tetap kokoh dengan dinding-dinding
yang
masih tegap berdiri di sisi depan, samping, dan belakang rumahnya. Hal
yang
membuat saya semakin takjub adalah masih utuhnya deretan ventilasi
berbahan
kaca di sisi ruang tamu. Kaca-kaca produksi tahun 90-an itu bercorak
bunga dengan
berlatar warna biru. Padahal kaca-kaca tersebut sangat sensitif untuk
pecah jika bersentuhan dengan benda keras. Sungguh keajaiban yang begitu
mengagumkan.
Ventilasi Kaca yang tidak pecah |
lima undukan tangga yang tersisa |
Saya semakin tertarik untuk
melihat sudut lain dari rumah yang menjadi saksi kepergian Dewa M. Adrian, tamatan
AKPOL Terbaik Tahun 2002 yang merupakan anak bungsu dari Syafriel. Tidak hanya
Dewa yang digulung tsunami, ketujuh sanak saudaranya yang hari itu berkumpul di
rumah Syafriel juga ikut terbawa amukan ombak pertama yang setinggi pohon
kelapa.
halaman depan Rumah Tsunami dari sudut kiri |
Sejak 2007, Rumah Syafriel
berganti nama menjadi “Rumah Tsunami” yang dinobatkan sebagai ikon objek
wisata. Rumah Tsunami terletak di kawasan
Desa Punge, Banda Aceh. Berbeda dengan objek wisata tsunami lainnya, Rumah
Tsunami tidak berada dalam pengawasan pemerintah Aceh, melainkan dikelola
pribadi oleh keluarga besar Syafriel. Maka jangan heran jika Anda berkunjung ke
sana tidak menjumpai guide tetap yang
akan stand by selalu di lokasi Rumah
Tsunami.
Pondasi bangungan yang masih tersisa |
Ketika saya berkunjung untuk pertama
kalinya ke sana, saya bertemu dengan Firdiansyah, salah satu anak angkat Syafriel
yang mengelola tempat tersebut. Darinya saya banyak tahu tentang alasan mengapa
Rumah Tsunami dijadikan lokasi untuk mengenang kepergian Dewa dan tujuh anggota
keluarga lainnya.
“Waktu itu mereka semua sedang
sarapan pagi di halaman sebelah kanan rumah ini, usai gempa mereka duduk
lesehan di situ rame-rame,” kenang Firdiansyah. Saya sibuk mengamati telunjuk
tangannya yang mengarah pada arah jalan raya di hadapannya. “Nah di situ si
Kris berdiri, dia itu anak angkat Pak Syafriel. Waktu itu Kris berteriak-teriak
kalau air laut udah naik,” saya semakin terhanyut akan cerita yang diulas
Firdiansyah. Tanpa menggubris seruan Kris, Dewa dan ketujuh anggota keluarga
besarnya itu tetap melanjutkan aktifitas sarapan. “Mereka malah ketawa, gak
percaya kalau air laut akan naik,” sambung Firdiansyah nyaring.
prasasti nama-nama mereka yang telah berpulang |
Rasa penasaran saya semakin
meninggi usai mendengar cerita dari lelaki itu. Tak lama, Saya pun mengayunkan
langkah kaki pada sebuah kamar mandi yang masih utuh tanpa roboh sama sekali di
sisi kiri Rumah Tsunami. Di dalamnya terdapat sebuah bathub berbentuk segitiga berwarna putih. Dindingnya yang masih
berkeramik tetap kokoh seperti sedia kala. Benar-benar kuasa Tuhan.
Di halaman depan Rumah Tsunami,
nama Dewa dan ketujuh sanak keluarga yang hilang itu terukir jelas dalam sebuah
prasasti di sisi dinding. Prasasti berlatar cat warna putih itu diselesaikan
pada 1 Juli 2012 lampau. “Dulunya tempat ini penuh dengan ilalang, akhirnya
pihak keluarga meminta saya untuk mengelola tempat ini agar dirawat,” itulah alasan
utama mengapa Rumah Tsunami memiliki makna tersendiri bagi keluarga Syafriel
dan juga mereka yang telah berpulang ke pangkuan Ilahi.
gambar Rumah Tsunami pada 2004 dan sesudah pembersihan |
Ada dua hal yang membuat saya
semakin mengagumi Rumah Tsunami. Pertama, kekaguman saya akan ventilasi kaca
yang sama sekali tidak pecah setelah dihantam ombak raksasa berkali-kali. Kedua,
kekaguman saya akan bentuk sebuah batu yang berdiri bersebelahan dengan
prasasti korban-korban yang hilang di Rumah Tsunami. Batu tersebut begitu unik,
karena memiliki lubang-lubang kecil mirip batu karang di samudra. Firdiansyah bahkan tidak tahu-menahu apakah
batu tersebut benar batu karang atau bukan. Ia hanya memberi tahu saya satu
hal, yakni batu yang bobotnya super berat itu berhasil digotong oleh 10 orang
warga. Siapa sangka, batu alamiah itu merupakan hasil galian dari halaman
belakang Rumah Tsunami. “Puncak batu itu saya bentuk emasnya Monas, dulu saya
sempat mimpi menaiki Monas, jadi saya ciptakanlah ukiran seperti itu,” umbar Firdiansyah
sembari tertawa pelan.
tugu Monas beralas batu alamiah berbentuk karang |
Berkunjung ke Rumah Tsunami seakan
mengajarkan saya bagaimana perjalanan sebuah bencana mampu menyisakan keajaiban
pada akhirnya. Subhanallah, wisata tsunami yang satu ini benar-benar unik dan
sangat cocok untuk dijadikan rekomendasi wisata bagi Anda yang penasaran
tentang Rumah Tsunami. Anda akan menemukan beberapa tanaman bunga di sekitar
Rumah Tsunami dan juga ukiran-ukiran batu yang dikerjakan langsung oleh
Firdiansyah. Namun jangan salah, batu-batu yang diukir tersebut bukan sembarang
batu, Firdiansyah berhasil mengumpulkan bebatuan yang tersisa pasca tsunami
untuk ia bentuk sedemikian rupa di Rumah Tsunami tersebut. Mungkin ini yang
dimaksud sebagai “upaya menambah nilai seni”.
wih keren. aku belum sempat kesana. mungkin kesempatan sekali lagi bisa kesana.
BalasHapusmampir juga ya kemari mhdharis.wordpress.com/2014/04/27/banda-aceh-punya-situs-objek-wisata-tsunami-yang-wajib-dikunjungi/