Kisah Mak Cut
Langkah kakinya gontai, perempuan itu berjuang menghantakan
kedua kakinya yang renta, menaiki anak
tangga mesjid Baiturrahman. Sudah dua hari ia absen sholat Dhuha. Ibadah yang
ia cintai sejak duduk di bangku SMA. Sunnah Rasul yang saban hari ia amalkan
jika raganya dirasa sehat.
Mak Cut Wati sudah berada di dalam mesjid. Ia raih
pelan-pelan mukena berwarna putih, lalu memakaikannya cukup hati-hati. Dua
minggu yang lalu tangannya terkilir, ia masih merasakan sensasi nyeri di
urat-urat tangan kanannya itu. Mak Cut mengaduh pelan, lalu menarik nafas lega
saat tubuhnya sudah mantap duduk di atas sajadah. Sudah setahun, ia memilih
sholat duduk sebagai pilihan. Berdiri terlalu lama akan membuat tubuhnya
melemah, bisa-bisa ia tak sadarkan diri.
Rakaat pertama berlalu, Mak Cut fasih membaca surrah Dhuha
bernada lirih. Tak lama, Mak Cut sampai pada rukun shalat dengan mengucapkan
salam. Ia ucapkan istighfar beberapa kali, tiba-tiba suaranya kian parau. Mak
Cut tak kuasa membendung air matanya, bibirnya bergetar. Pipinya yang kian
keriput basah dengan tangisan. Ia mengadu pada Tuhan, memohon segala dosa yang
selama ini ia perbuat dapat diampuni oleh Sang Pemilik Semesta. Mak Cut meminta
langkahnya yang kian renta itu agar dapat dimudahkan dalam menunaikan ibadah.
Ia menangis lama, bahkan seorang pria paruh baya yang tak jauh dari tempat
duduk Mak Cut, ikut terharu dibuatnya.
Usai berdoa, Mak Cut berjuang lagi menjelajah pelataran
mesjid, menopang tubuhnya untuk kuat menuruni anak tangga. Tas coklat berisi
mukena putih, masih dalam pelukan eratnya. Mak Cut berjalan tertatih ke arah
timur. Matanya takjub sesaat menerawang menara mesjid yang gagah berdiri. Ia
munculkan senyum ikhlasnya pagi itu, di bawah sinar mentari yang perlahan mulai
meninggi. Mak Cut merasakan hatinya berselimut damai.
Dalam ketakjubannya akan menara mesjid, seorang perempuan
paruh baya melintas dihadapan Mak Cut dengan senyum sumringah. Pakaiannya
tampak rapi, ia menggendong putranya yang masih 3 tahun. Dengan bangga ia
menyapa Mak Cut ramah. “Mak, aku gak lagi minta-minta sekarang, Alhamdulillah doa
Mak Cut dijabah Allah, Bang Ali udah pulang ke rumah lagi Mak, senang kali aku
Mak,” tanpa permisi, perempuan itu memeluk Mak Cut bahagia. Air matanya menetes
pelan.
“Syukurlah Nur, Allah gak tidur kan? Alhamdulillah, Habibi
udah pulang ayahnya ya,,” Mak Cut mencium pipi Habibi, balita 3 tahun itu. Mak
Cut menepuk pelan pundak Nurlaila, dalam suara lirihnya Mak Cut berdoa. “Semoga
Habibi jadi anak Soleh, nanti jadi imum mesjid ini ya nak ya,” lagi-lagi mata
Mak Cut mengarah pada Habibi, ia sangat menyayangi putra bungsu Nurlaila itu.
“Mak, terima kasih udah ajarkan aku cara bersyukur, aku gak
akan pernah lupa akan jasa Mak Cut yang selalu mendoakanku. Nanti sore aku dan
keluarga akan ke rumah Mak Cut, kami bawa ikan segar hasil tangkapan Bang Ali
tadi malam, kita makan sama-sama ya Mak,” Nurlaila meraih tangan kurus Mak Cut.
Ia tuntun perlahan langkah Mak Cut ke pintu gerbang mesjid.
Saat sebuah becak motor menghampiri Mak Cut, Nurlaila bersiap melambaikan tangannya pelan. Mengucap salam pada Mak Cut yang ia
sayangi. “Bang Wan, hati-hati ya bawa becaknya,” pesan Nurlaila singkat. Mak
Cut tersenyum kecil, hatinya bukan main bahagia. Sudah setahun ia lihat
Nurlaila bersama Habibi menjadi penghuni pelataran mesjid, mengobral kisah
sedih yang ia alami untuk mendapatkan recehan. Nurlaila dulu sudah berbeda,
sekarang ia hanya meminta pada Rabb-nya yang Maha Pengasih, yang memberikannya
rezki tanpa pamrih. Seperti kebahagiaan yang ia rasa kini.
*tulisan ini hanya fiksi, terlintas ide menulis saat tengah menggarap ide untuk penelitian :D
by @anggitaRAmalia
*tulisan ini hanya fiksi, terlintas ide menulis saat tengah menggarap ide untuk penelitian :D
by @anggitaRAmalia
Komentar
Posting Komentar