This is a Green Desk, Assembly Held
Halo blog-ku, apa kabar di awal November 2013 ini? Inilah
bulan di mana Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Indonesia sepakat meramal beberapa bagian di nusantara
dihampiri hujan. Betapa cepatnya waktu berjalan, seperti kesombongan saya yang
hingga kini baru bisa mengisi tulisan baru di blog ini. (Gomenasai)
Banyak hal yang saya biarkan menggenang di kepala tanpa
tertuliskan lewat kata per kata. Ya, rasa malas dan kesibukan kampus membuat
hal-hal kecil namun berarti seperti menulis blog terlewati begitu saja. Oh,
maafkanlah.
Di kesempatan kali ini, ada hal yang membuat kemauan menulis
saya terpancar terang. Hehe...ini tentang pengalaman pertama saya menghadiri
persidangan di pengadilan. Sebagai seorang wartawan kampus yang masih terus
belajar menimba ilmu jurnalistik, saya dan teman saya, Lusi merasa tertantang
dan mengaku penasaran dengan ruang lingkup persidangan. Jujur saja, televisi
yang memperkenalkan saya terlebih dahulu tentang bagaimana semesta yang ada di arena persidangan seperti majelis hakim, penuntut umum, pengacara, terdakwa,
hingga massa yang menghadiri sidang.
Suasana Persidangan (dok.pribadi) |
Hari itu, Kamis (31/10/2013), kami berdua memilih duduk di
deretan kursi nomor dua dari belakang. Waktu itu pukul 10.00 pagi, sidang masih
belum dimulai namun beberapa wartawan media lokal datang satu persatu. Tak lama
mobil yang membawa ketiga terdakwa pun datang dan parkir di halaman dalam gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh. Mereka tak lain adalah mantan Rektor Unsyiah, Darni
Daud, Mantan dekan FKIP Unsyiah, Yusuf Azis, dan Muchlis yang menjadi salah
satu pengajar di FKIP Unsyiah. Ya, ketiganya kini menjadi tahanan Kejaksaan
Negeri Banda Aceh.
Jelang pukul 11.00 siang, tak ada lagi suara riuh, pandangan
para hadirin yang mengikuti sidang mulai fokus pada ketukan palu dari sang hakim
ketua, pertanda sidang telah dibuka. Ketiga terdakwa mulai mengambil posisi duduk
mereka masing-masing. Tak lama, saksi pertama pun dipanggil ke area
persidangan. Ia adalah Rahmiana, seorang sekretaris di rektorat Unsyiah.
Semakin lama, saya merasa sidang ini semakin menarik, walau
tampak beberapa hadirin mulai mencari angin ke luar ruangan, bahkan ada seorang
pria setengah baya meninggalkan ruangan untuk menikmati sebatang rokok. Saksi
saat itu dilimpahkan berbagai pertanyaan yang tak lain bersumber dari Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) yang dimiliki majelis hakim atas keterangan saksi bersangkutan. Kebanyakan dari jawaban
yang ia ucapkan condong ke arah ketidaktahuan saksi. “Saya tidak tahu,” “saya
tidak ingat,”
Inilah persidangan, walaupun belum masuk ke dalam fase
penuntutan, namun kini masih dalam pemeriksaan saksi-saksi. Persidangan menjadi hal yang
mutlak perlu bagi siapa pun warga negara Indonesia yang terlibat kasus hukum untuk
diselesaikan secara berkeadilan. Sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan
seperti terjadinya kecurangan, pemalsuan berkas, hingga umbar-umbar keterangan
palsu. Oh, sungguh Tuhan Maha Tahu.
Darni Daud (Baju putih) terlihat serius mendengar kesaksian Samsul Rizal (dok pribadi) |
Saat azan zuhur berkumandang, dengan cepat hakim ketua
mengetuk palu pertanda sidang diskor hingga pukul 13.30 WIB. Tanpa berlama-lama di lokasi pengadilan, kami
berdua beranjak membeli makan siang dan menunaikan shalat zuhur di masjid
Baiturrahman yang tidak jauh dari lokasi.
Bersyukur hari itu tidak ada jadwal kuliah, sehingga kami
dapat berlama-lama mengikuti persidangan hingga usai. Walau pun lelah dan
sangat mengantuk, saya berusaha mengacaukan rasa kantuk dengan mendengarkan
musik hingga mendengar ulang rekaman terkait persidangan yang sengaja saya
rekam di dalam ponsel.
Finally, kami memutar haluan kembali ke arena persidangan
usai sholat. Terlihat orang-orang mulai
menduduki posisi mereka kembali. Hakim berbicara singkat, ternyata sidang
kembali diskor selama satu jam. Alhasil, kami duduk menunggu di ruang sidang
dengan sedikit kecewa. Tapi, mau bagaimana pun saya dan Lusi harus menunggu
hingga sidang berakhir.
Lelah menunggu, tiba lah saat dimana sidang berlanjut kembali, masih dengan pembacaan BAP dan
pemeriksaan saksi. Usai Rahmiana, baru lah saat yang saya tunggu-tunggu muncul.
Samsul Rizal, Rektor Unsyiah hadir di ruang sidang dan langsung dipersilahkan
menduduki kursi yang disediakan tepat di depan hakim ketua. Ia mulai
mengumbarkan kesaksian dengan diawali pengucapan sumpah terlebih dahulu.
Pertanyaan yang dilontarkan majelis hakim pun tak jauh beda dengan Rahmiana,
saksi sebelumnya. Benar saja, hadirin sidang mulai melonjak ramai, bahkan ada
beberapa orang yang berdiri di lokasi persidangan demi menyaksikan kesaksian
orang nomor satu di Unsyiah itu.
Samsul Rizal saat memberi keterangan sebagai saksi (dok pribadi) |
Saya mencoba membaca gestur tubuh Samsul Rizal, bagi saya ia
tampak mencoba tenang dan membuat dirinya merasa nyaman dalam agenda
persidangan tersebut. Hal itu terlihat dari intonasi yang ia ucapkan tidak dalam kondisi
berapi-api, walau di beberapa kalimat yang ia lontarkan terdapat kata “eee,,” “tidak
ingat,” hingga “tidak tahu.”
Pengalaman pertama ini membuat saya bersyukur untuk dapat
hadir di persidangan, beberapa kali saya memperhatikan gerak mata Darni Daud
saat Samsul Rizal mulai menjelaskan kesaksiannya. Sesekali ia memperhatikan Samsul
Rizal lama, lalu memalingkan mata ke arah kertas di tangannya sembari
membenarkan duduk kacamatanya. Wajah Darni Daud tampak biasa saja, saya rasa ia
mencoba bersikap apa adanya di persidangan.
Sejenak terbesit di pikiran saya tentang hubungan keduanya
yang dulunya terbilang dekat. Tahun 2006
silam, Darni Daud terpilih menjadi Rektor Unsyiah untuk periode 2006-2010. Saat itu pula Samsul Rizal menjadi orang
terdekatnya dalam struktur rektorat Unsyiah, dimana Samsul Rizal berperan
sebagai Pembantu Rektor (PR) I yang menaungi bidang akademik Unsyiah. Dari struktur rektorat Unsyiah saja, bisa
dibayangkan bagaimana kedekatan keduanya dalam membangun Unsyiah menjadi kampus
yang terus berbenah ke arah yang lebih baik. Bekerja sinergis membangun kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh.
Kumandang azan ashar menjadi penentu berhentinya sidang,
hakim ketua pun mengatakan akan melanjutkan sidang esok harinya. Dalam ketukan
palu tanda berakhirnya sidang, orang-orang mulai membubarkan diri ke luar
ruangan. Saya melihat Samsul Rizal meninggalkan ruangan dan beranjak ke pintu
utama gedung. Ketiga terdakwa kembali dikawal polisi untuk kembali masuk ke sel
tahanan.
Sungguh kehidupan ini penuh dengan tanda tanya. Langkah Samsul Rizal
meninggalkan ruangan dan sikap ketiga
tersangka yang mulai menjalani waktu kembali ke sel, adalah dua dimensi waktu
yang membuat saya tersadar, bahwa kehidupan tak lain adalah ruang gerak seorang
insan menentukan dirinya menjadi apa dan bagaimana.
Semoga setiap sumpah yang sudah mengumbar nama
Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tinggi lagi Bijaksana, dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan dan manusia. Sebab manusia dengan
manusia adalah makhluk yang sama, diciptakan dari segumpal darah, merasakan
nafas, dan hidup sesuai durasi masing-masing, hingga tak ada kata "meleset" atau "lupa" dari sang Pencipta, Allah SWT dalam mengatur makhluk-Nya. “Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi
ban, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?” (Surah Ar-Rahman, ayat ini berulang sebanyak 31 kali dalam surat
Ar-Rahman)
Banda Aceh, 02 November 2013.
created by : @anggitaRAmalia
---
NB :Foto diambil saat persidangan lanjutan di hari Jumat, (01/11/2013)
Komentar
Posting Komentar