Melihat Matahari
sumber gambar : www.google.com |
“Jun!
kok diem aja sih?” mata lebarnya membidik mataku sinis. Aku menggeleng dan tak
mau meladeni ucapan konyolnya. Dari tadi Haris duduk dengan posisi cemas
sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya tak menentu. Tangan kirinya sibuk menggenggam
ponsel barunya yang berbasis Android.
Dua minggu yang lalu Haris berhasil merengek meminta ponsel itu dari Mama.
Mungkin karena dia adik bungsuku, Mama sedikit tidak tega melihatnya kalah
saing dengan teman-teman SMA-nya yang mayoritas sudah mengenggam ponsel canggih
di tangan mereka. Aku pikir Mama terlalu berlebihan akan hal itu, Haris memang
masih labil, namun aku tidak suka dengan caranya bergaul dengan temannya.
Adikku itu masih lugu, berulang kali ia luput menjadi mesin ATM teman-temannya.
Itu buruk! Terutama dengan Hani, pacar barunya.
“Han!
Masak kamu gak ngertiin juga sih, Papaku lagi sakit sekarang,” Haris geram,
namun tak berani menaikkan intonasinya untuk sekedar memaki gadis yang bersuara
di ponselnya itu. Aku hanya bertopang dagu menatap geliat Haris di depanku.
Hampir gerah, aku pun meminta Haris menyerahkan ponselnya. Tanpa pikir panjang,
lelaki kurus itu pun memberikannya langsung padaku.
“Kau
tau Hani! Jika kau terus mencintai Haris seperti ini kau benar-benar rugi!
Gadis cantik sepertimu apa mau hidup dengan pria miskin seperti Haris?” suaraku
bernada ringan menyapa seseorang di seberang sana.
“Yang
kaya raya itu hanya Tuhan, lalu Dia membagi rezeki-Nya pada Papaku karena Papa
berhasil mengais rezeki halal yang tersebar di muka bumi ini, dengan rezeki itu
Papaku menjadi kaya, lalu dapat menyekolahkan aku dan Haris. Tidak hanya itu,
Papaku juga bisa membeli rumah, ini semua karena rezeki yang Tuhan bagi pada
manusia yang mau mencarinya!”
“Oh ya Han! Kau tau tentang cinta sejati? Aku
rasa kau dan Haris belum bisa dikategorikan cinta sejati, buktinya, Haris
merengek meminta Android pada Mamaku agar bisa kau pakai untuk sekedar surfing internet gratis di ponselnya!
Ya, itu keburuntunganmu yang bersifat sementara Han! Haris saja yang terlalu
tolol, dia tidak cocok menjadi panutan pria idaman wanita. Haris lemah, dan kau
kuat! Anehnya, sebagai orang yang kuat, kau tidak mau berbagi pada orang yang
lemah, apa aku bisa menyebutmu sebagai seorang yang zalim?”
“Han,
kalau detik ini juga kau dan Haris resmi berpisah, ini akan menjadi kabar baik,
karena Haris akan banyak mendapat pelajaran berharga dari hidupnya yang masih
terbilang konyol. Dan kau Hani, kau juga akan lebih beruntung jika berpisah
darinya, kau akan terbebas dari bayangan manusia lemah bernama Haris, lelaki 17
tahun yang menurutku masih belum tahu apa-apa tentang hidup!”
“Jika
kau mau, doakanlah Papaku dan Haris agar lekas sembuh! Kali ini kami sedang di
uji oleh Tuhan lewat penyakit jantung Papa yang kambuh, jika Haris berada di
posisi Papaku sekarang, dan kau ibarat Mamaku yang tengah menjaganya, apa kau
mau hidup dengan pria yang akan divonis mati dalam waktu dekat tanpa
meninggalkan banyak harta usai kepergiannya? Yah, aku tahu, Hani adalah gadis
yang bijak! Sudahlah, jangan banyak menangis, kau masih muda Hani!” aku
berdehem pelan, Haris menatapku lekat. Aku tak lagi mendengar suara Hani di ponselnya,
yang ada hanya air mata Haris yang menetes di pipinya. Ada rasa haru saat Haris
memelukku erat. Bahkan aku tak menyangka, Hani menangis kencang mendengar
seruanku. Aku sangat bersyukur akan hal itu.
“Itu!
kau lihat itu!” teriakku melayangkan telunjuk ke arah langit. Haris tersenyum
pulas, ia menghapus air matanya. Dari tadi langit berawan, aku duduk di beranda
depan sejak pukul 7 dan tak mendapati sinar mentari. Sekarang, saat denting jam
sudah menunjukkan pukul 9, aura bintang raksasa itu memancarkan sengatannya
lagi ke bumi. Dan aku melihatnya, aku senang beribu kepayang!
“Juni!
Kenapa kau suka matahari?” Haris menggenggam tanganku, ia memang begitu, tidak
mau memanggilku Kakak dan nyaman menyebut namaku saja setiap harinya.
“Matahari
bersinar bagiku ialah pertanda baik bahwa kehidupan ini masih berputar. Itu artinya aku
masih bisa menghirup oksigen milik Tuhan, bisa melihat keluargaku, melihat
dunia, dan merasakan air mataku menetes bahagia,” kutoreh wajahku memandangi
Haris, jemari tangannya berhasil menyeka pelan air mataku yang sudah jatuh. "Asalkan aku tidak pernah diberi kesempatan menyaksikan matahari terbit di ufuk barat," tambahku pelan.
“Selama
ini aku tolol, dan aku tidak pernah mau berguru dengan Kakakku sendiri! Kak,
maafkan aku sering mengabaikanmu!”
“Aku
bersyukur kau masih mengabaikanku namun setiap pagi kau selalu menyapaku di
rumah ini, yang kutakutkan hanya saja jika kau lupa tentang seorang Juni
Ariani, Kakak sulung yang satu-satunya kau miliki!” ucapku yakin, lagi-lagi air
mata membanjiri. Haris mendorong pelan kursi rodaku menuju ke tengah-tengah
taman.
“Kak!
mari kita berdoa untuk kesembuhan Papa, kau, dan kebaikan hidup kita!” aku
larut memejamkan mataku. Haris, adikku sudah dewasa ternyata!
THE END
a flash fiction by : Anggita Rezki Amelia
@anggitaryeowook
Komentar
Posting Komentar