Mahoni Town
BY : Anggita Rezki Amelia
@anggitaryeowook
Penatnya
hari membuatku semakin gusar, pikiranku mulai kacau memandangi lalu
lintas yang semakin ramai. Di bawah pohon Mahoni di tepian jalan Mahoni
2, aku merasakan kesejukan sesaat. Berteduh di bawah sederet pohon yang
membuat cantik panorama jalan ini. Rasa kantuk kian membabat mataku
untuk terpejam sejenak. Padahal baru saja memulai menelusuri jalan
beberapa meter.
***
“Perempuan
sialan, jalan lihat-lihat dong!” suara buruk itu memekakkan telingaku.
Bibi tua itu sepertinya lepas kendali tatkala jemari tangannya dengan
pasti menarik rambutku kuat.
“Sakit tahu! Lepaskan…” teriakanku menjadi-jadi saat si Bibi itu tak juga menghentikan aksinya.
"KLIKKK"
Cahaya
itu mengejutkan kami berdua, topi kesayanganku sudah jatuh entah
kemana. Tiba-tiba Bibi tua itu mulai pergi meninggalkanku tanpa memberi
kata maaf.
“Hei Bibi, mau kemana hah?” teriakku lantang. Seorang siswi SMA tengah mendekatiku dengan sunggingan senyum gantung.
“Mbak,
topimu sudah dicuri wanita gila itu. Apa kau tahu, dia itu wanita gila
yang semalam kabur dari rumah sakit jiwa. Hah, sudah gila begitu masih
tahu juga mana topi yang mahal” sebutnya padat.
“Apa katamu? Gila?” kuhela nafas panjang, hari ini benar-benar sial.
“Mbak,
sepertinya kau ini orang baru ya? Tampaknya kau belum hafal
situasi-situasi aneh di sekitar sini.” Gadis itu bersuara lagi.
“Pasti kau melihat dari gerak-gerikku ya? Lantas kenapa hah?” tiba-tiba moodku berubah jelek.
“Aku
hanya mengingatkan padamu. Hati-hati berkeliaran disini, suka timbul
gerak-gerik aneh seperti orang gila tadi. Bahkan kau harus curiga dengan
laki-laki yang memotret kalian berdua barusan dan langsung pergi tanpa
jejak” gadis itu tidak memandang mataku, ia fokus menatap dedaunan yang
diterbangkan angin.
“Hah??” histeris tak percaya, aku rasa gadis itu tidak berbohong padaku.
“Jadi….aku…aku
harus bagaimana?” sikapku mulai kacau, aku mengenang kembali ekspresi
kagetku ketika menghadap lensa kamera dari orang yang tak kukenal itu.
“Cari dia, aku rasa dia belum jauh dari sini. Ke arah timur, coba kau kesana”
Aku
tak lagi berdialog dengan gadis itu. Langkahku semakin cepat dengan
pikiranku yang belum mempercayai keadaan aneh kota ini. Hari ini hari
pertamaku berjalan-jalan tanpa ditemani teman. Niatku hanya ingin
mengetahui kota ini lebih dekat dengan alternatif berjalan kaki. Siapa
sangka jika di tengah jalan harus berjumpa dengan seorang Bibi tua yang
ternyata gila, mencuri topi pemberian Paman dari Paris yang harganya
lumayan mahal. Gadis itu, ahh! Aku bingung dengan geliatnya yang cukup
memberiku rasa penasaran. Bahkan langkahku sekarang ini karena termakan
omongannya.
“Kemana aku harus mencari laki-laki itu?” batinku.
“Siapa dia? Kenapa memotretku dengan Bibi tua tadi?”
“Apa mau dia? Jangan-jangan dia itu penjahat yang suka mengambil gambar wanita”
“Atau jangan-jangan dia itu suka mengumpulkan gambar-gambar aneh lalu dipublikasikan ke ranah publik?”
“Tidak..tidak….itu….burukk..burukkk!”
“TINNNNNNNNNN”
“Dimana
matamu hah? Kau pikir ini jalan kakek moyangmu ya?” mobil itu melaju,
pria berkumis itu memarahiku yang tanpa sadar berada di tengah lalu
lintas dan hampir menjadi korban.
“Syukurlah selamat!
Tapi…dia bilang kakek moyang? Hah, ini unik, harus kutulis dalam
notesku” aku duduk sebentar di tepi jalan dan membuka notesku. Aku
menulis hal-hal yang terkadang membuatku lucu jika membacanya di masa
mendatang. Lantas, peristiwa ini sepertinya sangat cocok untuk kutulis.
“Haha…sepanjang
hidupku yang baru 22 tahun ini, hari ini untuk pertama kalinya aku
mendengar orang memarahiku dan menyebut-nyebut ‘Kakek Moyang’. Bukankah
‘Nenek Moyang’ lebih sering disebut ketimbang Kakek? Haha…atau
jangan-jangan karena dia itu seorang pria berkumis jadi lebih cocok
menyebut ‘Kakek Moyang? Entahlah, persetan dengan orang yang mungkin
sudah pernah mendengar hal ini. Tapi yang jelas, ini hal baru yang saat
ini kudengar” aku bangkit dan kembali melanjutkan misiku, bertemu dengan
pemilik lensa.
Menakjubkan, semakin mendekati arah timur
aku tidak menemukan lagi kebisingan lalu lintas, Bibi tua yang gila,
atau Pria berkumis dengan sebutan ‘Kakek Moyang’ itu. Luar biasa indah,
aku berada di hamparan hijau ilalang dengan pohon beringin di
sekitarnya. Pegunungan nan jauh beberapa kilometer di depan sana semakin
mempercantik tempat ini.
sumber gambar www.google.co.id |
Segera kulupakan sejenak
pencarian sosok yang tak dikenal itu, aku menari-nari berkeliling lama
di tengah-tengah ilalang. Kumainkan jemari tanganku menyentuh ilalang
yang menutupi setengah ragaku. Benar-benar sepi dan sangat nyaman. Tidak
sia-sia harus berjalan jauh jika pemandangan eksotis seperti ini
menjadi pengalaman yang berharga.
Puas mengelilingi
hamparan ilalang, aku rehat di tubuh pohon beringin yang teduh.
Lagi-lagi mengambil notes miniku dan bercerita panjang lebar tentang
tempat ini. Aku tak lepas menerbitkan senyuman, tempat ini memberi
kenyamanan yang berarti buatku. Belum lagi angin lembut yang ikut
menggoyangkan rambutku.
“Tampaknya kau bahagia sekali Putri..”
Suara asing itu terdengar jelas, tiba-tiba sosoknya hadir menyambutku dengan senyuman.
“Kau
siapa hah?” kutatap matanya tajam. Tak menyangka dengan ciri-ciri yang
ia munculkan, tangan kirinya tengah menggandeng kamera, lalu berbalut
jaket hitam polos, rambut yang tidak terlalu acak, juga tinggi badan
yang semampai.
“Kauuu……” aku tercengang.
“Yang tengah kau cari bukan?” sambungnya tanpa rasa bersalah.
“Beraninya
kau tersenyum padaku, cepat kau hapus gambarku beberapa saat yang lalu.
Kau tidak berhak mengambil gambar orang lain tanpa izin. Kau seperti
mencuri..” aku berusaha meraih kamera di tangannya. Ia terus mengelak
bahkan berlari ke arah ilalang.
“Hapusss!! Aku mohon
hapus, dasar penjahat!” aku mengejarnya yang sudah berlari jauh.
Tiba-tiba aku tak sanggup mengejarnya lagi. Aku berniat kembali ke pohon
beringin, mengambil notesku yang tertinggal disana juga ranselku.
Kulirik
jam tanganku, sudah hampir sore dan aku harus segera pulang ke rumah
baruku. Aku mengambil minuman dalam ranselku, mengejar laki-laki tadi
membuatku dihidrasi.
“Hai cantik,,tampaknya kau sangat
haus ya?” wajahnya muncul kembali. Kali ini ia duduk di sebuah batu
besar tepat di depanku yang tengah rehat di bawah pohon beringin.
“Apa
maumu hah? Tolong, segera hapus gambarku itu. Apa susahnya sih? aku
tidak ingin berurusan denganmu lagi!” timpalku mulai putus asa.
“Aku mau kau menghapusnya sendiri. Kartu memorinya sudah kuselipkan diam-diam dalam notesmu.” Terangnya pasti.
“Apa katamu? Jadi kau diam-diam membuka notesku ya?” emosiku semakin naik.
“Tenanglah,
aku tidak membaca tulisanmu kok! Aku hanya menyelipkan kartu itu saja
tidak lebih. Aku suka mengambil gambar orang lain, itu hobiku, kau tidak
perlu khawatir, aku tidak akan menyiarkannya pada orang lain. Oh ya,
Saranku kau harus menelusuri lebih banyak lagi sudut-sudut Kota Mahoni
ini. Kota ini adalah kota kecil ternyaman yang pernah ada bagiku. Kau
juga harus merasakannya pula” ia tersenyum tulus. Tiba-tiba emosiku
surut usai memandang senyumnya. Tampaknya laki-laki ini orang yang baik.
“Apa aku boleh tahu, kau ini siapa?” tanyaku pelan.
***
“Ini dia….” Aku kaget bukan main, kartu itu berada tepat di tengah-tengah lembaran notesku.
Aku
beranjak pergi setelah puas beristirahat, berlari terus tanpa henti
dengan segudang pertanyaan yang menyesakkan benakku. Aku tak menyangka
mendapati keramaian di sebuah rumah sederhana. Langkahku terhenti, papan
bunga berderet rapi mengucapkan turut berduka cita.
“Kau siapa?” tanya seorang Ibu padaku.
“Saya…oh,
maaf, perkenalkan saya Nadia. Saya dan keluarga baru pindah ke daerah
sini. Rumah saya tepatnya di jalan Mahoni 4. Kalau boleh tahu, siapa
yang meninggal Bu?” tanyaku penuh hati-hati.
Dia menangis pelan, aku tak menyangka ini adalah duka paling dalam bagi Ibu itu. perlahan ia hapus air matanya.
“Mereka
bertiga sudah kami kebumikan. Mereka meninggal karena kecelakaan.
Sebentar, aku ambil foto mereka dulu” tiba-tiba ia masuk ke dalam rumah
dengan segera. Bahkan aku sendiri tidak menyuruhnya mengambilkan foto.
“Ini…mereka
adalah Kakakku dan dua keponakanku yang sudah tiada” ia terisak
kembali. Aku fokus memperhatikan gambar tersebut. Aku tak menyangka,
ketiganya adalah orang yang masuk dalam mimpiku. Mimpi yang tak pernah
terpikirkan akan hadir beberapa saat yang lalu.
“Mengapa
bisa sampai kecelakaan Bu? Apa yang terjadi?” aku memberanikan diri
bertanya hal itu. Rasa penasaranku memuncak tatkala kenyataan
menyadarkanku.
“Tadi malam Kakakku kabur dari rumah sakit
jiwa. Sudah 2 tahun ia mendekam dalam rumah sakit itu karena frustasi
dengan tingkah suaminya yang gemar menikah lagi. Farhan dan Mila yang
mencari Ibunya semakin kalut, tiba-tiba mereka menemukan Kakakku di
pinggir jalan tengah menangis tersedu. Saat itu Farhan berhasil
menghubungiku dan memberi tahu bahwa Kakakku sudah ditemukan. Farhan dan
Mila berniat membawa pulang Kakakku ke rumah untuk menginap semalam di
sini. Entah apa yang merasuki Farhan hingga ia tak sadar menabrak sebuah
mobil di depannya. Karenanya, mereka telah tiada sekarang…” cerita itu
menggemparkan batinku, aku tak menyangka. Benar-benar tak menyangka.
“Apa aku boleh tahu dimana makam mereka?” sambungku lagi.
“Pergilah ke padang ilalang ke arah timur sana. Mereka bertiga kami makamkan disana..”
Aku
pergi menemui keganjilan-keganjilan di Kota ini, 3 hari yang lalu aku
bertemu Kota Mahoni, bertemu rumah baruku , dan bertemu dengan tiga
orang yang sama sekali tak pernah muncul dalam realistis duniaku. Aku
terus berlari tanpa kenal lelah, rute jalan menuju padang ilalang persis
sama dengan rute langkah kakiku dalam mimpi. Semuanya sama, tidak ada
yang berbeda.
Angin pelan menyapaku saat mataku kembali menerawang padang hijau yang sangat eksotis ini.
“Ini benar-benar nyata, ini bukan mimpi kan?” kutepuk kedua pipiku kuat.
Segera
kutemui tiga makam ibu dan anak itu. Hanya beberapa langkah saja aku
sudah sampai di area makam mereka. Tak lama aku menangis, tangisanku
nyaris mirip dengan seorang Ibu yang kutemui tadi. Disana tertera nama
Karina Hesti, Farhan Mulia, dan Liani Mila. Tiga orang yang masuk dalam
mimpiku.
Sejenak hening memanjatkan doa untuk ketiganya.
Tangisku mulai mereda dan aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah.
Mengakhiri seharian perjalananku di kota Mahoni.
***
Suara Westlife menjadi alunan favoritku. Malam hampir larut dan aku masih asyik membuka file gambar-gambar
eksotis hasil bidikan Farhan. Mulai dari berbagai sudut di Kota Mahoni,
pasar Mahoni yang ramai, lapangan bola yang hijau, deratan pohon
cemara, suasana malam di Kota Mahoni, padang ilalang, pohon beringin
itu, bahkan wajah anehku saat kamera milik Farhan membidik aksiku dengan
Bibi tua yang merupakan Ibunya.
“Mama tidak boleh tahu soal ini, just me!
Akan aneh rasanya jika orang-orang tahu keajaiban dari
keganjilan-keganjilan semua ini. Mana ada yang percaya coba kalau kartu
memori dari seorang laki-laki yang sudah meninggal bisa terselip dalam
notes milikku? Bahkan kartu ini masih bisa dibaca oleh sistem komputer.
Entahlah, aku tidak ingin memikirkan mereka lagi, aku rasa ini hanya
kebetulan saja” kututup tulisan akhirku malam ini lewat notesku yang
masih terlihat bugar.
Rasa kantuk menjalar dan segera memeluk
gulingku, tiba-tiba keanehan lain muncul saat hendak mematikan lampu
untuk tidur. Merinding, aku merasakannya dengan jelas.
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……..!”
THE END
Komentar
Posting Komentar